Postingan

Menampilkan postingan dari 2012

Ketteng-ketteng Alat Musik Karo yang Menunjukkan Sifat Pragmatis dan Ergonomis.

Ketteng-ketteng Alat Musik Karo yang Menunjukkan Sifat Pragmatis dan Ergonomis.  Salmen Kembaren Karo mengenal seperangkat alat musik Telu Sendalanen yang terdiri dari Belobat/ Surdam/ Kulcapi, ketteng-ketteng dan Mangkuk. Perangkat musik yang terdiri dari Belobat, Ketteng-ketteng dan Mangkuk dulunya dimainkan oleh Aron (kelompok kerja pertanian yang terdiri dari muda-mudi) ketika waktu istirahat di ladang sebagai media hiburan. Belakangan, perangkat musik ini banyak dimainkan untuk mengiringi upacara-upacara tradisional Erpangir Ku Lau dan Perumah Jinujung. Bahkan ketteng-ketteng bersama alat music Karo lainnya sudah dikomersialisasi menjadi pertunjukkan entertainment saat ini.                 Secara fisiologis ketteng-ketteng terbuat dari seruas bambu (lokal: jenis Buluh Belin). Ruas bambu tersebut kemudian diolah dengan pahat atau pisau dengan membuat dua senar berdekatan. Satu senar memiliki lebar sekitar 1-2 cm (panjangnya sesuai dengan panjang satu ruas bambu tersebu

Masyarakat Karo Anti Sentralisasi

Masyarakat Karo Anti Sentralisasi Salmen Kembaren Pernahkah anda terpikir bahwa orang Karo tidak pernah memiliki sebuah organisasi yang besar dan bertahan lama? Hal ini perlu dikaji secara sosiologis tentunya. Hal ini berkaitan dengan solidaritas yang dikemukakan oleh pendahulu kita yakni Emile Durkheim. Pertama menurutnya adalah solidaritas itu dapat terbentuk karena homogenitas ataupun heterogenitas. Lebih jauh lagi Tonnies mengemukakan bahwa solidaritas itu dikembangkan lagi menjadi solidaritas karena hubungan darah, lokasi, dan kesamaan dan juga karena hubungan yang saling membutuhkan (mechanic). Sedikit beralih ke Karo, mungkin semua kita memahami bahwa setiap orang Karo dalam hubungannya satu sama lain akan memiliki tali persatuan persaudaraan, seperti Sembuyak, Senina, Kalimbubu, Anak Beru, dan tutur lainnya yang berjumlah sedikitnya 12. Kalau demikian hubungan persaudaraannya mengapa tidak dokoordinir dengan sebuah organisasi yang benar-benar mempersatukan Karo

Pengobatan Tradisional Karo

Gambar
Pengobatan Luka Bakar                Luka Bakar (Tambar Meseng),,,, Masyarakat Karo memiliki pengetahuan yang cukup untuk pengobatan berbagai macam penyakit. Pengetahuan ini diwariskan secara turun-temurun. Dalam hal ini adalah pengobatan luka bakar: Luka bakar yang dimaksud disebabkan 1. Kena api 2. Tersiram air panas               Bahan yang digunakan: Roppah (jipang)               Cara penggunaan: jipang dipotong pada pangkalnya, setelah mengeluarkan getah, maka getah tersebut ditetesi ke sekitar luka. Hal ini dilakukan berkali-kali sampai luka terasa dingin. Menurut keterangan informan bahwa luka yang baru terjadi (sebelum lewat 2 jam) tidak akan meninggalkan luka bakar. Salmen Sembiring (Studi Deskriptif Suka Nalu, informan  F Br Ginting, I. Sitepu dsb)

Mukul-Mukul, Tradisi Karo yang Terlupakan

                Study Kasus di Desa Serdang Kecamatan Barus Jahe, Karo                  Masyarakat Karo memiliki penanggalan tersendiri (Sitepu). Setiap bulan dinamai dengan paka yang melambangkan makna dari bulan itu. Seperti halnya yang dikatakan oleh para teoritisi sosiologi bahwa masyarakat memberi makna terhadap benda-benda simbolis sesuai dengan pemahaman masyarakat terhadap benda-benda simbolis tersebut termasuk makna hari, bulan, cuaca atau hal-hal alam lainnya. Salah satu yang hendak dibahas dalam sub bab ini adalah pemaknaan cuaca di bulan oktober.             Sudah sesungguhnya menjadi hal biasa bagi negara hutan hujan tropis yang memiliki dua musim dalam setahun yakni kemarau dan penghujan. Hal yang sering menjadi bencana bagi masyarakatnya adalah ketidaksiapan dalam menghadapi perubahan dari musim kemarau ke musim penghujan yang dinamai dengan musim pancaroba. Perubahan musim ini sering memakan korban jiwa baik jatuh sakit ataupun meninggal dunia karena perubahan

Silsilah Merga Sembiring Pagaruyung

Silsilah Sembiring Pagaruyung: Kembaren, Sinulaki(Silalahi), Keloko(Haloho), Sipayung(Sinupayung) Dikutip dari buku Karo dari Zaman ke Zaman, Pustaka Alim Kembaren(Terjemahan LIPI) Diedit seperlunya sesuai kebutuhan redaksi tanpa mengurangi makna aslinya dalam bahasa Karo. PUSTAKA ALIM KEMBAREN (red) (sejarah kedatangan merga Kembaren ke Karo-Haru) (I) -seh i Karo-Haru- Lit me ndube anak Pagaruyung dua sembuyak, duna nande; sintua tading Pagaruyung, singuda laws ngkelewati Pulo Perca enda, renen inganna, iban ia denga jelma ibas Pulo Perca enda. Amin empak apa pe ia lawes, ibabana nge cap surat kerajan, CAP SI SIWAH, PISO BALA BARI, piso kerajan si bereken kakana ndubé. Rusur nenna inganna, langnga ia jumpa bagi ukurna tengteng; si kitik kitiksa, si mbelin mbelinsa. Émakana seh ia i BANGKO, redagang ia i BANGKO. Enggo cukup sinuwan-sinuwanna: “kugapa kita énda raja?” nina ginemgemna si lima kalak. “Metunggung me kuta, diberu sopé lit”. Tuhu até RAJA. Maka nisiapna