Mukul-Mukul, Tradisi Karo yang Terlupakan



                Study Kasus di Desa Serdang Kecamatan Barus Jahe, Karo
                 Masyarakat Karo memiliki penanggalan tersendiri (Sitepu). Setiap bulan dinamai dengan paka yang melambangkan makna dari bulan itu. Seperti halnya yang dikatakan oleh para teoritisi sosiologi bahwa masyarakat memberi makna terhadap benda-benda simbolis sesuai dengan pemahaman masyarakat terhadap benda-benda simbolis tersebut termasuk makna hari, bulan, cuaca atau hal-hal alam lainnya. Salah satu yang hendak dibahas dalam sub bab ini adalah pemaknaan cuaca di bulan oktober.
            Sudah sesungguhnya menjadi hal biasa bagi negara hutan hujan tropis yang memiliki dua musim dalam setahun yakni kemarau dan penghujan. Hal yang sering menjadi bencana bagi masyarakatnya adalah ketidaksiapan dalam menghadapi perubahan dari musim kemarau ke musim penghujan yang dinamai dengan musim pancaroba. Perubahan musim ini sering memakan korban jiwa baik jatuh sakit ataupun meninggal dunia karena perubahan unsur alam mempengaruhi keseimbangan dalam tubuh manusia.
            Masa perubahan musim tersebut dinamai dengan masa “macik-macik nggala” (wawancara dengan Lenna Br S.Kembaren, Cukai Br Silangit) yang jika disepadankan ke dalam bahasa Indonesia berari masa-masa pembusukan jerami. Hal ini bukan tidak beralasan, masa panen (rani) yang selesai bulan juni-juli adalah musim kemarau dan benarlah adanya jerami tersebut mulai membusuk ketika air mulai membasahi areal persawahan. Masa macik-macik nggala ini ditandai dengan frekuensi hujan turun dalam sehari yang dapat beberapa kali  (meskipun dalam curah rendah).
            Pada masa perubahan musim ini perubahan keseimbangan tubuh manusia dipengaruhi oleh perubahan keseimbangan alam. Frekuensi hujan turun dalam sehari dan dalam sebulan pastinya memberi dampak bagi ketahanan tubuh. Salah satu dampaknya adalah banyaknya warga yang menderita sakit terutama sakit kepala (mesui takal). Berdasarkan kepercayaan (belief) masyarakat pada masa lampau (sebelum era 1980-an) bahwa hal ini terjadi setiap tahun karena begu kuta (sebuah roh-makro kosmas, pendewaan sebuah kekuatan supranatural yang diberi nama Begu Kuta yang memiliki kekuatan untuk mengatur keadaan alam) menginginkan makanan. Oleh karenanya sebelum begu kuta tersebut memakan korban manusia maka ada inisiatif masyarakat untuk memberi korban berupa sajian-sajian atau ramuan-ramuan. Tindakan seperti ini sesungguhnya ada sejak zaman purba, seperti yang tertulis dalam kitab suci Nasrani dan Islam dimana para nabi dan umat-demikianlah sebutan untuk masyarakat  saat itu- memberikan kurban-sesajen-sajian-cibalcibalen-dan sebutan lokal lainnya demi menghindari murka sang Maha Kuasa (Allah-Tuhan) ataupun ucapan syukur atas kebaikan sang Makro Kosmas (Kejadian 4, Keluaran 27). Hal ini mengartikan bahwa terdapat hubungan dua unsur dalam kepercayaan masyarakat yakni mikro kosmas dan makro kosmas. Mikro kosmas berpusat pada manusia dalam pengelolaan alam sekitarnya dan lemah akan alam semesta. Mikro kosmas adalah nyata dan berwujud (kuantitatif) seperti manusia, tanah, air, hewan, tumbuhan dan unsur alam lainnya. Sebaliknya makro kosmas adalah kekuatan yang berpusat pada “sesuatu” yang diyakini menguasai seluruh alam semesta yang didalamnya terdapat mikro kosmas.
            Kesadaran akah posisi yang lemah maka manusia akan melakukan hal-hal yang dapat mengurangi risiko bagi kelangsungan hidup masyarakat tersebut. Hanya saja pemaknaan risiko berkaitan dengan pandangan tentang alam semesta. Dalam hal ini adalah hubungan pertukaran (transaksional) antara manusia dan makro kosmas. Manusia memberikan kurban/korban, maka imbalannya adalah hari-hari yang baik, perdamaian, umur panjang dan kebaikan-kebaikan yang didefinisikan oleh masyarakat. Seperti yang didefinisikan beberapa sosiolog di awal bahwa kepercayaan itu mengandung harapan-harapan dalam berbagai kemungkinan yang diharapkan terutama yang mengarah kepada keuntungan salah satu pihak atau bagi kedua belah pihak. Di pihak manusia dan pihak Begu Kuta.
            Bulan oktober ditandai dengan hujan di awal bulan yang begitu deras. Kemudian hari-hari berikutnya hujan sering turun namun tidak begitu deras. Kecepatan angin yang cukup kencang, mendung, dan sering datang bersama petir/halilintar. Hal ini menurut kepercayaan masyarakat adalah kengerian-kemarahan (Bandingkan dengan ketika manusia marah yang pada dasarnya mengeluarkan suara keras dan muka-cuaca- yang tidak bersahabat). Ketika hal ini terjadi maka para tua-tua desa yang tentunya disegani (lihat tempat kepercayaan tumbuh dan berkembang) mendefinisikan bahwa masa macik-macik nggala telah mulai berlangsung.
            Hubungan kekerabatan memberi ruang untuk tumbuh dan berkembangnya kepercayaan. Siapa yang menolak atau melanggar kesepakatan kepercayaan maka akan dikenakan sanksi. Mulai dari sanksi sosial-terkucil dari masyarakat maupun sanksi dari Begu Kuta  yang disebut dengan mara. Perlu diketahui bahwa sebelum era 60-an dan 80-an ikatan kekerabatan masih mendominasi hubungan antar masyarakat-belum begitu dipengaruhi nilai-nilai agama-golongan ekonomi-pendidikan yang pada akhrinya menjadi sekat-sekat antar masyarakat Karo sehingga kepercayaan itu masih tumbuh dan berkembang. Namun setelah era 80-an agama Kristen hampir telah menjangkau seluruh pelosok Karo dan mempengaruhi berbagai kepercayaan masyarakat. Bahkan untuk era 2000-an tradisi mukul-mukul tidak ditemukan lagi (tidak terekspose).
            Setelah mencapai kesepakatan diantara tua-tua desa (si meteh adat kuta) maka dibuatlah rencana acara “mukul-mukul”. Perlu dilihat dalam hal ini adalah kesatuan dan rasa persamaan kepentingan masyarakat sehingga mau tunduk pada pemerintahan adat. Tentunya pemerintahan adat yang dipatuhi oleh mereka adalah pemerintahan yang benar-benar memperhatikan kepentingan masyarakat (dalam hal ini demi keselamatan warganya). Hal-hal yang direncanakan tersebut adalah 1. Menghitung jumlah kurban (daging babi) yang akan dikonsumsi warga, 2. Menetapkan hari berlangsungnya acara pada bulan oktober 3. Bersama Perbapan Kuta, Pengulu Kuta dan Pengulu Lau menetapkan tanggal acara Rebu-Rebu Merdang dan Tanggal Kulau Rengkat. Suatu hal yang perlu dicermati disini adalah sistem demokrasi lokal yang telah dilupakan oleh masyarakat era reformasi. Demokrasi segi empat ini mirip dengan sistem pemerintahan monarki konstitusional yang dalam hal ini saya sebut dengan monarki parlementary.  
           Hubungan tersebut bukan hubungan hirarkis melainkan hubungan kesejararan (tanda panah berarti dapat langsung memberi masukan kebijakan kepada). Meskipun terbagi kedalam empat ruang hanyalah berbeda dalam tugas mereka. Pihak Pengulu Kuta adalah masyarakat yang merupakan keturunan pendiri desa yang hanya terdiri dari satu Pengulu Kuta dan keluarganya (batih), diluar dari keluarganya masuk ke kelompok masyarakat namun tidak tertutup kemungkinan akan terangkat menjadi Pengulu Kuta di masa mendatang. Tugas Pengulu Kuta adalah mengatur urusan dalam desa/kuta seperti pertengkaran, pembagian tanah dan sebagainya. Yang kedua adalah Perbapaan Kuta dan Pengulu Lau, jabatan ini dapat diduduki oleh siapa saja bukan dalam hubungan kedekatan dengan keluarga Pengulu Kuta. Pengulu Lau dipilih oleh masyarakat biasa yang tugasnya adalah mengatur irigasi lahan pertanian desa. Sedang Perbapaan Kuta dipilih oleh masyarakat bersama Tua-Tua untuk mengurusi hubungan dengan kuta lain (urung kuta-federasi). Sedangkan Tua-tua kuta adalah masyarakat biasa yang dituakan oleh masyarakat umum. Hal ini dapat karena pengetahuannya karena adat, memiliki pengetahuan supranatural, dan kaum teknokrat (pande). Demikian uraian singkat hubungan antar masyarakat dalam suatu desa.
            Setelah tiba tanggal (wari) sehari sebelum acara mukul-mukul yang ditetapkan maka seluruh warga dalam segala usia akan berlomba-lomba mencari Kurung (Jangkrik yang memiliki corak hitam putih dalam badannya). Jumlah kurung yang harus dikumpulkan setiap satu keluarga adalah sepulu sada (sebelas). Hal ini berkaitan dengan kepercayaan dari masyarakat tentang makna angka dan kata. Seperti yang dikemukakan oleh Blumer (dalam Ritzer, 2008: 289) bahwa masyarakat memiliki kebebasan untuk membentuk makna dari simbol-simbol ataupun benda mati sesuai yang mereka butuhkan yang pada akhirnya mencirikan kelompok mereka. Makna sepulu sada (sebelas) untuk mengarahkan kepada kata ersada (bersatu), sedangkan Kurung diarahkan maknanya ke kata pulung (berkumpul). Jadi kata “kurung sepulu sada i baba kurumah” diartikan sebagai “pulung ersada tendi i rumah” yang jika disepadankan dengan bahasa Indonesia demikian “berkumpul dan bersatu roh di rumah”. Jumlah kurung yang diambil sesungguhnya boleh dibawa ke rumah lebih dari sebelas, namun tidak boleh dimasak lebih dari sebelas. Jadi sisanya akan dapat dibagikan kepada orang lain yang belum memenuhi jumlah kurung yang mereka dapatkan sebelas. Hal ini terutama dalam membantu orang lanjut usia yang susah mendapatkan kurung ini sehingga anak-anak berinisisatif untuk mendapatkan kurung lebih. Meskipun kegiatan mencari kurung tidak ditemukan lagi namun pemaknaan atas angka tersebut masih berlaku dalam kegiatan adat yang masih ada.
            Pada hari H acara mukul-mukul maka para laki-laki secara berkelompok-kelompok sesuai yang telah ditetapkan pada saat rapat desa bergerak pagi hari sekitar pukul sembilan untuk menangkap hewan babi yang menjadi kurban. Babi-babi tersebut kemudian dipotong kemudian dagingnya dibagi menurut jumlah orang dalam kelompoknya. Setiap keluarga diperkirakan mendapat sekitar dua ngkrauk (dua telapak tangan orang dewasa-sekitar setengah kilogram per keluarga). Sedangkan seluruh bagian dalam dari babi tersebut akan dipersembahkan kepada Begu Kuta tentunya setelah dibersihkan dari kotoran. Bagian dalam hewan tersebut akan diletakkan dalam sebuah keranjang (sagak) yang tingginya sekitar 2 meter dari permukaan tanah atau digantung di atas dahan kayu di setiap pintu masuk desa (serpang kuta). Khusus di Desa Lokasi penelitian terdapat lima area penancapan kurban ini karena memiliki lima jalan untuk keluar masuk desa. Sekitar pukul 12.00 siang maka seluruh warga makan bersama keluarga masing-masing di rumahnya (i jabu-ingat bahwa dalam satu rumah adat Karo terdapat beberapa keluarga penghuninya).
            Ranngkaian acara mukul-mukul tersebut secara sistematis dapat diurutkan sebagai berikut:
  1. Rapat rencana pelaksanaan (seminggu di awal Oktober).
  2. Satu hari sebelum hari H, ki kurung (mencari kurung).
  3. Hari H Mukul-mukul (Pertengahan Oktober)
a.       Pengangkapan Babi (pukul sembilan)
b.      Pemotongan Babi (pukul sembilan sampai sebelas)
c.       Penyerahan kurban (pukul sebelas)
d.      Makan bersama (pukul dua belas)
e.       Man Begu (pukul dua belas samapai pukul satu)
f.       Selesai setelah pukul satu.
            Hal-hal yang menjadi tradisi dalam mukul-mukul tersebut ada beberapa yang menjadi keharusan atau kewajiban maupun berupa larangan yakni:
  1. Penyerahan kurban kepada Begu dilakukan oleh beberapa laki-laki (perbapan) bersama guru (ahli supra natural).
  2. Pada saat acara makan semua anggota keluarga harus berkumpul (pulung) dan makan bersama (ersada).
  3. Tidak diperbolehkan mengeluarkan suara keras sehari penuh (dilarang berbicara dengan volume suara kuat) hal ini diyakini karena Begu Dapat mendengar suara dan akan mendatangkan bencana bagi mereka.
  4. Dilarang bekerja ke lahan pertanian dalam seharian, oleh karenanya segala ternak yang berada di lahan pertanian sudah dibawa ke sekitar desa atau sudah diberi makan secukupnya.
  5. Dilarang keluar rumah selama Begu Kuta memakan hewan kurban tersebut yakni satu jam pada siang hari. Hal ini diyakini jika seseorang keluar pada saat Begu makan roh orang tersebut juga dapat dimakan atau diambil oleh Begu.
  6. Ketika makan di rumah maka yang pertama dimakan adalah kurung beserta nasi lalu daging babi. Ketika makan dihidupkan sebuah lampu untuk menerangi proses makan. Sewaktu makan berlangsung keheningan harus dijaga, dilarang berbicara degnan suara kuat.
  7. Setelah Begu Kuta selesai makan kurban, maka warga diperkenankan keluar rumah, namun tidak diperkenankan bekerja ke lahan pertanian. Juga tidak diperkenankan mengeluarkan suara keras.


Sudut Pandang Lain
Dari beberapa rangkaian kegiatan tersebut dapat terlihat bahwa hari tersebut memiliki makna lain. Adalah kebiasaan bagi masyarakat desa bahwa hujan gerimis bukanlah hambatan untuk bekerja, jadi ketika hari hujan gerimis mereka tetap juga bekerja menggunakan perlak (bungkusan plastik di tubuh mereka). Sehingga mereka tidak terkena air hujan. Namun karena cuaca yang buruk secara mudah dapat mengganggu kesehatan manusia. Oleh karenanya pengetahuan masyarakat muncul untuk menyiasati hal ini adalah hari-hari peristirahatan dalam sebulan (Oktober) hari-hari peristirahatan itu adalah:
  1. Rapat musyawarah (aktivitas ringan)
  2. Hari kikurung (aktivitas ringan)
  3. Acara mukul-mukul (benar-benar tidak beraktivitas seharian, larangan bekerja seharian)
  4. Acara Rebu-rebu seminggu setelah acara mukul-mukul (tidak ada aktivitas berat, larangan bekerja seharian)
  5. Acara kulau rengkat (penyemaian benih) di akhir bulan (dilarang bekerja ke lahan pertanian)
Salah satu upaya untuk meningkatkan kesehatan (promotif) dan upaya pencegahan penyakit adalah dengan mengatur waktu istirahat yang cukup. Terlihat bahwa kearifan masyarakat Karo dalam bulan pancaroba tersebut memiliki kehebatan untuk mengatasinya dengan membuat waktu istirahat yang cukup. Sedikitnya terdapat lima hari waktu peristirahatan dalam bulan yang sangat rentan dengan penyakit influenza (mesui takal) tersebut. Selain itu perlu diketahui bahwa periode memakan daging bagi masyarakat hanya pada saat-saat ada upacara atau kegiatan-kegiatan adat. Pada bulan oktober tersebut seluruh warga dalam upaya menjaga kesehatan sedikitnya memenuhi kebutuhan daging sebanyak dua kali dalam sebulan.

Salmen Sembiring...(Informan: Lenna Br Kembaren, Cukai Br Silangit, Nurmala Br Bangun)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karo Berry (sebuah kenangan masa kecil)

Kerja Tahun Saat Ini

"Terites" secara sosiologis