Kerja Tahun Saat Ini
"Ekonomi Pertanian Melesu, Kerja Tahun Kurang Semarak dan Berubah"
Salmen Kembaren, Barus Jahe 2012
Kerja
tahun adalah tradisi suku Karo yang melambangkan ucapan syukur atas kemakmuran
yang telah diperoleh. Wujud rasa syukur itu biasanya dibuat dalam bentuk
acara-acara budaya yang bersifat
menunjukkan kemakmuran itu sendiri, seperti makanan yang berlebih dalam
beberapa hari, hiburan bagi semua orang
dengan menampilkan tari-tarian gembira dan mempertemukan seluruh
keluarga besar. Tapi itu dulu. Segala sesuatu tidak ada yang kekal, semua
berubah dan berubah.
Perubahan
itu menunjukkan kemakmuran, mungkin dalam masyarakat modern hubungan ini susah
terlihat dan kiranya perlu penelitian lebih lanjut. Perubahan tersebut saat ini
paling dipengaruhi oleh situasi ekonomi masyarakat Karo. Untuk daerah seputaran
Barus Jahe, hal ini tentunya dipengaruhi oleh situasi ekonomi petani kita.
Ketika masa berjayanya jeruk, mungkin pengeluaran untuk kerja tahun tidaklah
terlalu menjadi beban, namun saat seperti sekarang ini, maka pengeluaran kerja
tahun sangat membebani. “Hal ini dikarenakan pengeluaran dalam dua hari dalam
acara kerja tahun sama dengan pengeluaran selama 1-2 bulan pada bulan biasa”
tutur Ginting (61) seorang warga Desa Tangkidik sambil meminum teh susu di
salah satu kede kopi. Beberapa acara kerja tahun yang telah berlangsung tahun
ini di seputaran Barus Jahe, terlihat memang kurang semarak.
Tingkat
semaraknya kerja tahun biasanya dibuat kriteria oleh warga atau pengunjung
adalah dengan adanya Gendang Keyboard dan jumlah pengunjung yang datang.
Beberapa acara kerja tahun yang sudah berlangsung yang tidak mengadakan acara
gendang antara lain Desa Kubu Colia(5/5), Juma Padang(12/5), Gurisen(12/5),
Penampen(12/5). Sedangkan desa yang mengadakan gendang dalam kerja tahun untuk
seputaran daerah ini adalah Desa Tangkidik(12/5), namun jumlah pengunjung yang
datang tidaklah seramai biasanya. Menurut penuturan Ginting bahwa warga hanya
mengundang sampai sebatas anak-anak mereka saja, tidak seperti tahun-tahun
senelumnya yang mengundang seluruh anggota keluarga besar mereka. Hal ini
disebabkan bukan karena tidak ingin mengundang saudara melainkan situasi
ekonomi. “undang pe kari, mesera nge
akapsa reh ban susah ndarami duit, adi la ia reh dorek ceda perkade-kaden,
adi reh nambahi utangna, jadi madin me lanai padah undang ise pe” ucap Ginting
dengan tertawa, beberapa orang yang duduk di satu meja juga tertawa mendengar
ucapan Pak Ginting.
Lebih
lanjut lagi, perekonomian warga di seputaran Barus Jahe sangat terpuruk ketika
jeruk diserang hama lalat buah dan hambatan lainnya seperti kanker atau pupuk
palsu. Berdasarkan penuturan beberapa warga yang saya temui bahwa lahan jeruk
saat ini rata-rata tidak lebih dari separuh. S.U.Sitepu penduduk Suka Nalu
menyatakan bahwa lahan jeruk di desa tersebut hanya berkisar 3% lagi dari luas
sepuluh tahun lalu. N.Barus, seorang mahasiswa dari Desa Tanjung Barus
mengatakan bahwa lahan jeruk saat di desanya sekitar 35% dari jumlah
tahun-tahun kejayaan jeruk dahulu. Keadaan hampir sama di Desa Tangkidik, dari
seluruh keluarga yang ada, hanya sekitar 10% yang masih memiliki lahan jeruk.
Desa-desa yang lain di sekitar Barus Jahe menurut mereka juga mengalami hal
yang sama.
Berkaitan dengan hal tersebut, semarak kerja tahun jadi sangat menurun karena pemasukan juga sangat menurun. Ditambah lagi produksi kopi yang juga menurun tahun ini karena curah hujan yang berlebihan menambah terpuruknya kedaan ekonomi pertanian.
Berkaitan dengan hal tersebut, semarak kerja tahun jadi sangat menurun karena pemasukan juga sangat menurun. Ditambah lagi produksi kopi yang juga menurun tahun ini karena curah hujan yang berlebihan menambah terpuruknya kedaan ekonomi pertanian.
Terpisah
Menanggapi
tipe kerja tahun saat ini bahwa menurut beberapa warga semakin terpuruk.
Gendang yang dulunya adalah gendang kuta dan gendang aron, saat ini berubah
menjadi gendang “are-are”, “jual lagu”, “gendang pengusaha” dan sebagainya.
Dimana orang tua kurang terlibat dalam acara gendang tersebut. Tariannyapun
sedikit melenceng dari etika sopan santun masyarakat Karo. Sejauh ini yang
penulis dapat contohkan adalah kerja tahun Desa Tangkidik, Kecamatan Barus
Jahe. Kekurangan aron-singuda-nguda salah satu factor penyebab panitia menyewa
penari yang disebut dengan “are-are”. Are-are tersebut biasanya bukan dari desa
sekitar tempat kerja taahun berlangsung jadi para laki-laki tidak begitu
“mehangke” jika menari dengan gaya masing-masing.
Awalnya
memang cukup seru dimana setelah adu perkolong-kolong pertama, ditampilkan tari
lima serangkai oleh KAKR Tangkidik.
Setelah itu baru lebih seru lagi. Menari tanpa sampan/sarung adalah lazim bagi
semua laki-laki yang menari ke atas pentas. Dengan sedikit gaya” mabuk setengah
tenggen”, beberapa lelaki menari sempoyongan dan terkadang bersentuhan dengan
penari are-are tersebut. Sebagian penari are-are memang berusaha menghindar,
namun ada juga yang merasa hal ini adalah seru dan menampilkan goyangan yang
syurr. Dibawan para ibu dan anak-anak menyaksikan dengan tenangnya tanpa merasa
ada sesuatu yang aneh akan tarian tersebut.
Malam
makin larut, setelah perkolong-kolong (Keleng Barus-Sri Dewi Br tarigan)
selesai “i adu”. Lagak-lagak penari laki-laki semakin menjadi-jadi, gaya
mabuknya semakin terlihat. Padahal orang tua dan anak-anak masih berada di
Losd. Sepertinya jika lagunya hanya tempo “odak-odak” tidak begitu diminati
dalam kerja tahun sekarang. Yang diminati adalah tempo patam-kocak. Hampir
semua lagu yang dinyanyikan diatas pentas saat itu adalah tempo kocak-patam.
Sempit sekali. Kekayaan seni Karo sepertinya sempit sekali dalam
pertunjukan-pertunjukan kerja tahun.
Komentar
Posting Komentar