Identity Struggled of Karo

Bogor, Penghujung April 2016


         Perdebatan Karo Bukan Batak sepertinya menjadi perang yang tak berkesudahan di media sosial. Tidak hanya perang antara persepsi Karo itu sendiri dengan Outgroup Etnic. Perdebatan juga masih panas di antara Grup Karo dengan Grup Batak Karo. Bahkan ada beberapa kasus saling memaki dan berujung pada dikeluarkannya seseorang yang dianggap menyimpang dari ajaran Group. Hal ini terutama di grup facebook. Tidak hanya di facebook, di instagram juga terdapat akun yang cukup berseberangan pendapat antar admin akun. Kita juga tentunya harus memikirkan kesahihan dari akun yang dibuat.
        Pertengahan April lalu saya mengikuti suatu kegiatan pelatihan ke Bogor. Seperti biasanya, di suatu awal pelatihan maka pasti ada bina suasana kelompok/kelas untuk mengakrabkan peserta. Sebagai satu-satunya perwakilan Karo maka sayapun harus benar-benar memperkenalkan diri dengan sebaik-baiknya. Ketika saya menyatakan bahwa saya berasal dari Medan atau Sumatera Utara maka pelatih kami langsung menguji saya dengan bahasa Batak. Namun, saya mencoba menjelaskan bahwa saya tidak mengerti bahasa Batak karena saya berasal dari Etnic Karo. Namun, sang pelatih menganggap saya berkilah karena alasan takut disuruh menyanyi lagu Batak.

           Beberapa jam kemudian, seorang teman saya beretnis Jawa kelahiran Sumatra  ketika makan siang menyambut saya saya dengan ucapan "itulah bro, masih banyak yang belum paham kalo di Medan itu dikira Batak semua". Saya hanya tersenyum dan melanjutkan makan siang dengan menu tahu bacem.

            Ternyata belum berakhir juga. Seminggu kemudian, seorang pelatih lainnya masuk kelas dan mencoba mengenali seluruh peserta. Kembali, Karo dikategorikan sebagai Batak, namun saya juga tetap kukuh untuk menyatakan bahwa keduanya adalah berbeda. Ibu ini tampaknya lebih dapat memahami, karena dua orang Batak di kelas tersebut tidak melakukan perlawanan ketika mereka dikategorikan Batak. Karena itu, saya disuruh menyanyi dan akhirnya sayapun mencoba menyanyikan lagu Mbiring Manggis. Sebagian dari mereka mengerutkan kening. Antara bingung itu bahasa apa atau karena suara saya yang cempreng. Tetapi pelatih ini berjanji akan meriuhkan tepuk tangan dengan segala kondisi suara saya.

              Siangnya, seoang wanita Katolik dari Yogyakarta mencoba membangun komunikasi dengan saya. "saya kira di Medan itu Batak semua, ternyata berbeda ya, tadi lagunya agak berbeda dengan lagu Batak yang pernah saya dengar" ujarnya. Saya mencoba memberi gambaran singkat tentang daerah-daerah Etnis Karo termasuk Medan itu sendiri. Ia mengangguk berlebihan mendengar penjelassan saya tentang tersisihnya Karo dari Batak di Medan karena alasan kuantitatif.
              Karena kerasnya saya mempertahankan pendapat. Pelatih yang pertama masuk ke kelas kami dengan materi baru. Ia mengerti bahasa Batak dan menyuruh peserta Etnis Batak menterjemahkan kata-kata yang ia ucapkan. Saya mengelak menterjemahkan karena memang tidak mengerti. Bahkan seorang Mandailing yang setuju disebut Batak tidak mengerti menterjemahkannya. Seorang Batak Tobalah yang mengerti. Terakhir, pelatih tersebut mengkategorikan saya Karo terlepas ia paham atau tidak. Penghujung kelas ia mencoba berkelakar dengan BPK dan membuat kelas menjadi sangat ingin tahu apa itu BPK.
            refleksi:
1. Menurut saya, diantara Karo tidak perlu ada peperangan tentang identitas ini. Setiap orang berhak menyatakan dan menyuarakan identitasnya. Hanya saja, di media sosial perlu diberikan argumentasi atau saling menyerang dengan teori dan fakta masing-masing bukan malah saling memaki.
2. Tentang GBKP, ya inilah batu sandungan terakhir bagi perjuangan Karo Bukan Batak. GBKP adalah kening dari identitas Karo. Mengapa demikian, selain organisasi yang cukup besar menghimpun Etnis Karo, juga menamakan dirinya sebagai bagian dari Karo itu sendiri. Maka ia juga harus memiliki fakta dan data tentang kekaroan mereka. Apakah mereka memang Batak Karo atau Karo? Tidak bisa dikatakan hanya mengikuti yang sebelumnya karna gereja boleh salah, tapi tidak boleh berbohong. Selain itu GBKP juga tidak seharusnya hanya diam seolah-olah itu bukan bagian mereka dan belum ada yang meminta untuk mengkajinya. Gereja harus aktual, proaktif dan responsif dalam menghadapi situasi anggotanya. Karena keistimewaan gereja adalah meminimalisir birokrasi dan pelayanan yang membumi (diakoni). Hal ini sangat mungkin karena anggota GBKP sendiri banyak dari akademisi yang mampu mengkaji hal ini (sejarawan, sosiolog, antropolog)
3. Setiap pejuang KBB harus menyuarakan keluar bukan menyerang ke dalam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karo Berry (sebuah kenangan masa kecil)

Kerja Tahun Saat Ini

"Terites" secara sosiologis