Strategi Ekonomi Dan Etos Kerja Suku Karo dalam Menghadapi Tradisi Kerja Tahun
Strategi
Ekonomi Suku Karo dalam Menghadapi Tradisi Kerja Tahun
(Kerja
Tahun Dalam Perspektif Sosiologis Bagian I)
Terangta Tarigan (Peneliti)
Salmen S. Kembaren (Editor)
ASOSIASI SOSIOLOGI KARO
Medan
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Kebudayaan
dapat diartikan sebagai suatu sistem nilai dan pikiran yang hidup pada semua
masyarakat. Dalam suatu nilai dan pikiran tersebut, berkembang pula sejumlah
gagasan dan nilai-nilai seperti etika dan norma yang mempengaruhi tingkah laku
warga sebuah masyarakat. Isi pikiran dan nilai inillah kemudian dalam
kebudayaan manusia membedakan masyarakat yang satu dengan masyarkat lainnya.
Menurut Koentjaraningrat (1984:10) kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan
karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar serta keseluruhan dari
hasil budi dan karyanya itu. Ada tujuh unsur yang bersifat universal dari
kebudayaan yaitu : (1) bahasa (2) sistem pengetahuan (3) organisasi sosial (4)
sistem peralatan hidup dan teknologi (5) sistem mata pencaharian hidup (6)
sistem religi (7) kesenian.
Sebagai
gagasan dan karya manusia maka kebudayaan mempunyai tiga wujud yaitu : (1)
wujud ideal yaitu sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya (2) sistem sosial sebagai kompleks
aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat (3) kebudayaan fisik
sebagai benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat. 1981:5).
Masyarakat
Indonesia yang pada umumnya berbasis agraris memiliki corak kebudayaan dengan
karakteristik agraris pula. Legenda Dewi Sri yang menjadi bagian dari sistem
kepercayaan dikalangan suku Jawa maupun Sunda merupakan salah satu contoh corak
budaya agraris dalam masyarakat nusantara. Modal produksi pertanian tidak hanya
berpengaruh dalam aspek kepercayaan sebagai salah satu bagian dari keseluruhan
sistem kebudayaan, namun juga memberikan ciri bagi unsur-unsur kebudayaan
lainnya seperti sistem pengetahuan, teknologi serta kesenian.
Hasil
kajian antropologis dari Dove dan kawan-kawannya (Suwarsono, 1994:62), hendak
mencoba melihat interaksi antara kebijaksanaan pembangunan nasional Indonesia
dan aneka ragam budaya lokal yang terdapat di Indonesia. Baginya budaya
tradisional sangat dan selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi, sosial,
dan Politik dari masyarakat pada tempat mana budaya tradisional tersebut
melekat. Jika demikian halnya, bagi Dove budaya tradisional selalu mengalami
perubahan yang dinamis dan oleh karena itu budaya tradisional tidak mengganggu
proses pembangunan. Dari pandangan Dove di atas, dapat kita lihat bahwa budaya
tradisional dapat membangun masyarakat termasuk membangun etos kerja masyarakat
dalam proses pembangunan. Dalam hal ini, dapat kita simpulkan bahwa budaya
kerja tahun dapat membantu masyarakat dalam mencapai kemajuan dalam bidang
ekonomi khususnya.
Suku
Karo di Sumatera Utara sebagai bagian dari masyarakat agraris nusantara juga
memiliki corak kultural yang merefleksikan karakter agraris dari masyarakat Karo.
Salah satu tradisi masyarakat Karo yang tidak lepas dari pola produksi
pertanian ialah kerja tahun. Kerja
tahun adalah suatu bentuk ritual atau upacara penyembahan kepada Sang Pencipta
atau Beraspati Taneh (dewa yang berkuasa atas tanah menurut agama Pemena atau
agama asli suku Karo) yang bertujuan menyukseskan setiap tahapan aktivitas
pertanian dan manifestasi dari harapan akan hasil panen yang berlimpah
(Sembiring, 1992). Bila upacara tersebut dilakukan pada masa panen (ngerires),
maka hal itu menjadi perwujudan rasa syukur kepada sang Pencipta karena
kegiatan bertani telah selesai dengan aman dan sukses. Biasanya kerja tahun
diadakan oleh masyarakat yang berasal dari satu kuta atau kampung tertentu. ( http://www.berdikarionline.com/gotong-royong/20110620/kerja-tahun-merdang-merdem-refleksi-prinsip-kedaulatan-pangan.html,
diakses pada tanggal 3 April 2013, pukul 13.45 wib).
Salah
satu jenis kerja tahun yang masih dirayakan adalaha Kerja Tahun Merdang Merdem.
Kerja Tahun Merdang Merdem hingga
kini masih diselenggarakan setahun sekali oleh masyarakat Karo. Tetapi
waktu pelaksanaan kerja tahun berbeda-beda di masing-masing daerah yang
termasuk dalam daerah kebudayaan Karo. Beberapa daerah hanya melaksanakan
ritual kerja tahun pada tahapan tertentu dalam kegiatan pertanian. Ada yang
merayakan di masa awal penanaman (merdang merdem/ladang – rebu-rebu/sawah), masa
pertumbuhan dan menjelang panen (mahpah), masa panen (ngerires) dan pasca
panen (nimpa bunga benih).
Kerja
tahun menjadi semacam perwujudan prinsip gotong royong dalam masyarakat Karo.
Setelah satu tahun disibukkan oleh kegiatan bertani atau berladang yang juga
dilaksanakan secara gotong royong, maka hasil dari aktivitas pertanian itu juga
harus disyukuri dan dinikmati secara gotong royong pula. Pada masa kerja tahun,
seluruh masyarakat kuta saling berbagi kegembiraan tanpa adanya sekat-sekat
tertentu (http://www.berdikarionline.com/gotong-royong/20110620/kerja-tahun-merdang-merdem-refleksi-prinsip-kedaulatan-pangan.html,
diakses pada tanggal 3 April 2013, pukul 13.45 wib). Dalam mengekspresikan kegembiraan dan ucapan
syukur tersebut maka muncul tradisi menyajikan makanan enak dan jumlah yang
banyak. Hal ini tentunya akan membutuhkan sejumlah biaya pengeluaran. Selain
itu muncul juga tradisi untuk membeli barang baru baik kebutuhan dapur juga
kebutuhan sandang.
Masyarakat Karo dalam persebarannya dapat
dikategorikan luas karena menempati beberapa daerah kabupaten di Sumatera
Utara. Sampai saat ini yang menjadi persebaran orang Karo terdiri atas Kab.Karo,
Langkat, Deli Serdang, Simalungun, Kota Medan dan Dairi. Dalam hal ini tradisi
kerja tahun yang hendak dilihat adalah dari daerah Karo Gunung (Gugung). Unsur
Kesenian merupakan salah satu ciri khas dari kerja tahun. Tradisi kesenina
dalam Kerja tahun dikelola oleh aron, yang dapat terdiri dari orang tua ataupun
pemuda desa. Kesenian sebagai
salah satu unsur kebudayaan yang bersifat universal. Kesenian merupakan hasil
karya manusia yang berkaitan dengan keindahan yang didalamnya merupakan bentuk
aktivitas manusia di masyarakat yang berasal dari ide-ide dan gagasan yang berisi nilai-nilai dan norma-norma yang
dianggap berharga dan berharga di mata masyarakat. Kesenian yang beraneka ragam
itu pada hakikatnya mempunyai sejumlah fungsi. Kesenian itu pula dapat juga
berfungsi sebagai penerus adat kebiasaan dan nilai-nilai kebudayaan. Di samping
menambah kenikmatan pada hidup sehari-hari, kesenian dapat juga menambah
eratnya ikatan solidaritas pada masyarakat. Kesenian juga merupakan bagian dari
sistem kehidupan, seperti halnya dengan etnik Karo yang memiliki kekayaan
bentuk-bentuk seni sebagai manifestasi aktivitas sosial masyarakatnya. Seperti
halnya kesenian yang kerap dilaksanakan oleh setiap masyarakat suku Karo yaitu
kerja Tahun terkhusus di daerah Desa Singa, kecamatan Tigapanah, kabupaten Karo,
Sumatera Utara. Di sini penulis tertarik meneliti tentang peranan Budaya pesta
Tahunan (Kerja Tahun) yang mempengaruhi etos kerja.
Dari
pandangan-pandangan di atas, dapat kita lihat bahwa begitu antusiasnya
masyarakat Karo untuk merayakan pesta tahunan ini. Dilihat dari usaha
masyarakat Karo dalam mempersiapkan serta memeriahkan acara ini, kami sangat
tertarik untuk mengetahui mentalitas masyarakat Karo yang sangat berkaitan
dengan kebudayaan. Dari hal ini, kami ingin lebih mengetahui semakin tinggi
atau tetap etos kerja yang dimiliki masyarakat Karo dalam melaksanakan acara
ini. Oleh karena itulah, penelitian ini lebih difokuskan kearah dan strategi ekonomi masyarakat Karo dalam
tradisi kerja tahun dan peranan pesta tahunan terhadap etos kerja pada
masyarakat Karo. Dan pada kesempatan kali ini kami ingin memahami lewat salah
satu desa di Tanah Karo yang masih merayakan pesta tahunan yaitu pada Desa
Singa yang ada di Kabupaten Karo.
1.2 Rumusan
Masalah
Adapun
yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana
strategi ekonomi masyarakat Karo dalam Tradisi Pesta tahunan (Kerja Tahun)?
2.
Bagaimana
etos kerja masyarakat suku Karo dengan adanya tradisi Kerja Tahun?
1.3 Tujuan dan manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan
Penelitian
ini dilakukan bertujuan untuk:
·
Mengetahui
gambaran pesta tahunan/kerja tahun yang ada pada masyarakat Karo khususnya Desa
Singa, Kec,Tigapanah, Kab.Karo.
·
Mengetahui
bagaimana peranan pesta tahunan/kerja tahun terhadap etos kerja pada masyarakat
Karo Desa Singa, Kec.Tigapanah, Kab. Karo, di mana terlihat bahwa etos kerja
masyarakat Karo sangat terpengaruh oleh budaya kerja tahun.
·
Mengetahui
bagaimana strategi ekonomi masyarakat Desa Singa dalam tradisi Kerja Tahun.
1.3.2 Manfaat
Adapun
hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan teori-teori
maupun konsep-konsep sosiologi mengenai peranan pesta tahunan terhadap etos
kerja masyarakat Karo dan bentuk strategi ekonomi masyarakat dalam melakukan
Tradisi Kerja Tahun khususnya di Desa Singa, Kec. Tiga Panah, Kab.Karo.
1.4 Defenisi Konsep
·
Budaya
adalah suatu
cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan
diwariskan dari generasi ke generasi.
·
Budaya
pesta tahunan (Kerja Tahun) adalah merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang
biasanya dilaksanakan sesuai dengan waktu yang ditentukan bersama. Perayaan
tersebut merupakan bagian dari ucapan syukur kepada sang Pencipta atas hasil panen, dan budaya ini
diwariskan dari generasi ke generasi. Kerja Tahun yang dilakukan di Desa Singa ini
adalah kerja tahun Merdang Merdem.
·
Etos didefinisikan sebagai kecenderungan atau
karakter; sikap, kebiasaan, keyakinan yang berbeda dari individu atau kelompok.
·
Kerja
adalah kegiatan melakukan sesuatu, yang dilakukan (diperbuat).
·
Etos
kerja, dalam kamus besar bahasa
Indonesia etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan
seseorang atau sesesuatu kelompok.
·
Masyarakat
dalam penelitian ini adalah sekumpulan orang atau sekelompok orang yang tinggal
pada suatu tempat dalam waktu yang cukup lama, memiliki tujuan dan budaya yang
sama.
·
Strategi
Ekonomi adalah upaya, cara atau berbagai bentuk kegiatan yang dilakukan
masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya terutama yang berkaitan
dengan pengelolaan uang, barang dan jasa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Rasionalitas dan Tindakan Sosial (Marx Weber)
2.1.1 Teori Rasionalitas
Dalam filsafat, rasionalitas adalah
cara di mana orang menarik kesimpulan ketika mempertimbangkan hal-hal yang
sengaja. Hal ini juga mengacu pada kesesuaian keyakinan seseorang dengan
seseorang alasan untuk keyakinan, atau dengan tindakan seseorang dengan
seseorang alasan untuk tindakan. Namun, “rasionalitas” istilah cenderung
digunakan dalam diskusi khusus ekonomi , sosiologi , psikologi dan ilmu politik
. Sebuah keputusan yang rasional adalah salah satu yang tidak hanya beralasan,
tetapi juga optimal untuk mencapai suatu tujuan atau menyelesaikan masalah.
“Rasionalitas” digunakan berbeda di berbagai disiplin ilmu.
Manusia
dipandang sebagai makhluk yang rasional dan juga tidak rasional. Pada
hakikatnya manusia itu memiliki kecenderungan untuk berpikir yang rasional atau
logis, di samping itu juga ia memiliki kecenderungan untuk berpikir tidak
rasional atau tidak logis,kedua kecenderungan yang dimiliki oleh manusia ini
akan nampak dengan jelas dan tergambar dalam bentuk tingkah laku yang nyata.
Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa apabila seseorang telah berpikir rasional
atau logis yang dapat diterima dengan akal sehat, maka orang itu akan
bertingkah laku yang rasional dan logis pula. Tetapi sebaliknya apabila
seseorang itu berpikir yang tidak rasional atau tidak bisa diterima oleh akal
sehat maka ia akan menunjukan tingkah laku yang tidak rasional.
Max
Weber mengusulkan sebuah interpretasi aksi sosial yang membedakan antara empat
jenis rasionalitas:
1. Traditional Rationality: Tujuannya
adalah perjuangan nilai yang berasal dari tradisi kehidupan masyarakat
(sehingga ada yang menyebut sebagai tindakan yang non-rational). Ditentukan oleh pembiasaan mendarah
daging. Weber menekankan bahwa itu sangat tidak biasa untuk menemukan hanya
salah satu orientasi: kombinasinya adalah norma.
2. Value Oriented Rationality: Suatu kondisi dimana masyarakat
melihat nilai sebagai potensi hidup, sekalipun tidak aktual dalam kehidupan
keseharian. Tindakan yang dilakukan untuk apa yang
disebut alasan intrinsik untuk aktor: beberapa, etika estetika, motif agama
atau lainnya, tergantung dari apakah itu akan membawa kesuksesan atau tidak.
3. Affective Rationality: Jenis Rational yang bermuara
dalam hubungan emosi yang sangat mendalam, dimana ada relasi hubungan khusus
yang tidak dapat diterangkan di luar lingkaran tersebut.
4. Purpossive Rationality: Tujuannya adalah tindakan dan
alat dari bentuk rational yang paling tinggi yang dipilihnya “Etika Protestan”
dan “Semangat “Kapitalisme”. Dengan harapan tentang perilaku manusia lain
atau benda di lingkungan. Harapan ini berfungsi sebagai sarana untuk aktor
tertentu untuk mencapai tujuan, ujung yang Weber mencatat yang rasional dikejar
dan dihitung.
(http://sosiologi.yahubs.com/tag/rasionalitas-instrumental/
diakses pada tanggal 10 April 2013, pukul 15.00 wib)
Mengapa
manusia itu berpikir tidak rasional, Albert Ellis mengungkapkan beberapa
pendapat yang bersifat universal, di antaranya:
- bahwa seseorang itu pada hakikatnya ingin dihargai, dicintai ataupun disayangi oleh setiap orang.
- bahwa seseorang itu memiliki kecenderungan untuk ingin yang serba sempurna dalam hidup ini.
- bahwa di antara manusia ini tidak tergolong semuanya baik, dan ada pula manusia yang tergolong jahat, kejam, dan jelek.
- manusia memiliki kecenderungan memandang bahwa malapetaka yang terjadi sebagai sesuatu yang tidak diinginkan.
- ketidaksenangan, ketidakpuasan ataupun ketidakbahagiaan pada seseorang itu dipandang bersumber dari kondisi di luar dirinya semata-mata.
- seorang memiliki kecenderungan untuk hidup tergantung pada orang lain.
- seseorang memiliki kecenderungan lebih mudah menghindari tanggung jawab (kesulitan-kesulitan) dari pada menghadapinya.
- seseorang memiliki kecenderungan untuk tidak menghiraukan masalah-masalah orang lain, karena dipandang oleh seseorang bahwa masalah orang lain itu tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya sendiri.
- pengalaman masa lalu dipandang sebagai suatu faktor yang menentukan tingkah laku masa ini.
- seseorang memiliki kecenderungan untuk mencari pemecahan suatu masalah yang sempurna.
Kesepuluh
kecenderungan yang dikemukakan Ellis di atas adalah merupakan faktor penyebab,
kenapa manusia itu berpikir tidak rasional. Harus diyakini bahwa manusia
memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu pada dirinya.
Seseorang
sering kali berpegang pada setumpuk keyakinan yang sebenarnya kurang masuk akal
atau rasional, yang ditanamkan sejak kecil dalam lingkungan kebudayaan atau
keluarga atau yang diciptakan sendiri. Tumpukan keyakinan irasional cenderung
untuk bertahan lama. Bahkan orang cenderung memperkuatnya sendiri dengan
berbagai alasan seperti halnya perayaan Pesta Tahunan di masyarakat Karo.
Mengubah
diri dalam berpikir irasional untuk mempertahankan keyakinan-keyakinan yang
sebenarnya tidak masuk akal, ditambah dengan perasaan cemas tentang
ketidakmampuanya mengubah tingkah lakunya dan akan kehilangan berbagai
keuntungan yang di peroleh dari perilakunya, meskipun perubahan pada diri
sendiri tidak mudah, patut di usahakan dengan menyerang kekacauan dalam
berfikir dan melatih diri mewujudkan landasan pikiran yang lebih sehat dalam
tingkah laku yang konkret.
Terkait
masalah Rasionalitas yang dikemukakan Weber, Tindakan Rasional yang
dilakukan seseorang seperti saat ini adalah seperti pikiran yang kadang tidak
bisa mendorong kita untuk bertindak. Kadang juga kita sering berpikir bahwa
tindakan orang lain itu sama sekali tak masuk akal. Seperti contoh kita sering
menemukan seseorang yang melakukan tindakan di luar kebiasaan kita. Kita akan
berpikir bahwa orang itu melakukan tindakan yang tak lazim dilakukan orang
normal. Tetapi kita juga pasti tau bahwa tindakan orang yang kita nilai tidak
lumrah tersebut hanya karena perbedaan kebiasaan, lingkungan, dan masalah
sosial lainnya. Pikiran kita hanya terpatok pada pemikiran kita sendiri. banyak
orang menganggap perilaku atau keputusan orang lain ‘melenceng’ secara
pemikiran kita. Karena kita hanya mengacu pada pemikiran kita sendiri dan
jarang sekali yang berpemikiran “di luar kotak”.
Seperti
contoh saat ini yang akan kita lihat saat ini seperti budaya pesta
tahunan di masyarakat Karo ini, di mana hal ini dapat terlihat tidak biasa bagi
orang yang diluar masyarakat Karo dan tindakan ini dapat terlihat tidak
rasional. Terlihat dalam perayaan pesta tahunan ini membutuhkan banyak biaya
dan dianggap seharusnya tidak perlu. Namun hal ini tetap terjaga sampai
sekarang dalam masyarakat Karo karena merupakan nilai yang rasional yang
didapat dari nilai keyakinan akan budaya masa lalu.
2.1.2 Teori Tindakan Sosial Max Weber
Dalam
hidup bermasyarakat, kamu pasti mengadakan hubungan dengan orang lain. Hubungan
tersebut dalam sosiologi disebut interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan
intisari dari kehidupan sosial. Sebelum kita pelajari lebih jauh mengenai
interaksi sosial, ada suatu hal yang mendasari terjadinya interaksi sosial,
yaitu tindakan sosial.
Tindakan
merupakan suatu perbuatan, perilaku, atau aksi yang dilakukan oleh manusia
sepanjang hidupnya guna mencapai tujuan tertentu. Menurut Weber, tindakan ialah
perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya. Tidak semua
tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Tindakan sosial adalah
suatu tindakan yang dilakukan dengan berorientasi pada atau dipengaruhi oleh
orang lain. Max Weber seperti dikutip oleh Kamanto (2004:12) mengartikan
tindakan sosial sebagai tindakan manusia yang dapat memengaruhi
individu-individu lainnya dalam masyarakat.
2.1.2.1 Jenis-Jenis Tindakan Sosial
Menurut
Max Weber, tindakan sosial dapat digolongkan menjadi empat kelompok (tipe),
yaitu tindakan rasional instrumental, tindakan rasional berorientasi nilai,
tindakan tradisional, dan tindakan afeksi.
a. Tindakan Rasional Instrumental
Tindakan ini dilakukan seseorang dengan memperhitungkan
kesesuaian antara cara yang digunakan dengan tujuan yang akan dicapai. Misalnya
guna menunjang kegiatan belajarnya dan agar bisa memperoleh nilai yang baik,
Fauzi memutuskan untuk membeli buku-buku pelajaran sekolah daripada komik.
b. Tindakan Rasional Berorientasi Nilai
Tindakan ini bersifat rasional dan memperhitungkan
manfaatnya, tetapi tujuan yang hendak dicapai tidak terlalu dipentingkan oleh
si pelaku. Pelaku hanya beranggapan bahwa yang paling penting tindakan itu
termasuk dalam kriteria baik dan benar menurut ukuran dan penilaian masyarakat
di sekitarnya. Misalnya menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya
masing-masing.
c. Tindakan Tradisional
Tindakan ini merupakan tindakan yang tidak rasional.
Seseorang melakukan tindakan hanya karena kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat tanpa menyadari alasannya atau membuat perencanaan terlebih dahulu
mengenai tujuan dan cara yang akan digunakan. Misalnya berbagai upacara adat
yang terdapat di masyarakat.
d. Tindakan Afektif
Tindakan ini sebagian besar dikuasai oleh perasaan atau
emosi tanpa pertimbangan-pertimbangan akal budi. Seringkali tindakan ini
dilakukan tanpa perencanaan matang dan tanpa kesadaran penuh. Jadi dapat dikatakan
sebagai reaksi spontan atas suatu peristiwa. Contohnya tindakan meloncat-loncat
karena kegirangan, menangis karena orangtuanya meninggal dunia, dan sebagainya.
(lontar.ui.ac.id/file?file=digital/119472...Pendahuluan.pdf
diakses
pada tanggal 10 April 2013 pukul 13.15 wib)
Tindakan
Sosial oleh Weber di sini adalah tindakan yang melibatkan orang lain adalah
merupakan tindakan sosial atau sebagai tindakan yang dilakukan dengan
mempertimbangkan perilaku orang lain. Jika tindakan itu tidak ada respon dari
orang lain, itu tidak dapat dikatakan dengan sebuah tindakan sosial.
2.1.3 Pemikiran Max Weber dan Etos Kerja
Protestan
Pemikiran Weber telah merubah dunia, di mana
Weber dengan ethos kerjanya dan semangat
beragama akan mewujudkan manusia yang berproduksi. Tulisan-tulisan metodologis dari Weber, dalam The Protestant Ethic and the Spirit
Capitalism yang tertuli pada buku
Kamanto (2004:7), menjelaskan masalah kebenaran dan interpretasi sejarah baik yang
materialistis maupun yang idealistis sebagai pola-pola teoritis yang
menyeluruh. Akan tetapi, metodologi Weber harus ditempatkan di dalam kerangka
pertentangan yang sedang berlangsung mengenai hubungan antara ilmu pengetahuan
alam dan ilmu pengetahuan tentang manusia atau sosial. Ruang lingkup tindakan manusia dikatakan sebagai suatu
ruang lingkup dimana metode-metode ilmu alam tidak
berlaku, sehingga di dalam ruang lingkup itu harus dipakai prosedur-prosedur
intuisi, yang tidak eksak dan persis.
Weber
mengakui bahwa ilmu-ilmu sosial harus berkaitan dengan fenomena spiritual atau
ideal, sebagai ciri-ciri khas dari manusia yang tidak berada dalam jangkauan
bidang ilmu-ilmu alam. Akan tetapi, pembedaan yang diperlakukan tentang subyek
dan obyek tidak harus melibatkan pengorbanan obyektivitas di dalam ilmu-ilmu sosial,
atau pembedaan yang menyertakan intuisi sebagai pengganti untuk analisis
sebab-musabab yang dapat ditiru. Menurut Weber, ilmu-ilmu sosial bermula dari
suatu perasaan bertanggungjawab atas masalah-masalah praktis, dan kemudian
dirangsang oleh rasa keharusan manusia memberi perhatian demi terjadinya
perubahan sosial yang diinginkan.
Penggunaan
ilmu pengetahuan empiris dan analisis logis dapat memperlihatkan kepada
seseorang tentang apa yang dapat dicapainya, atau akibat apa saja yang terjadi
selanjutnya, serta membantunya menjelaskan sifat dari ideal-idealnya. Akan
tetapi, ilmu pengetahuan itu sendiri sulit untuk menerangkan kepadanya tentang
keputusan apa yang harus diambil. Analisis Weber mengenai politik dan tentang
logika motivasi politik, didasarkan atas pertimbangan-perimbangan ini. Perilaku
politik dapat diarahkan dalam suatu etika dari maksud-maksud pokok atau dalam
suatu etika pertanggungjawaban. Perilaku ini pada akhirnya bersifat keagamaan,
atau paling tidak memiliki bersama dengan perilaku keagamaan dengan
atribut-atributnya yang luar biasa. .
Etos
Kristen mengajarkan kesuksesan adalah keseimbangan, karier, keluarga. Tidak
boleh sukses hanya pada karier kerja, tetapi keluarga berantakan. Sukses harus
seimbang antara keluarga dan karier. Sikap hedonisme atau ajaran menikmati
kesenangan; membawa kekosongan rohani. Hasrat melampaui batas terhadap
kebebasan. Menumbuhkan sikap anti-sosial, nihilisme. Membawa seseorang
kehilangan makna dan tujuan hidupnya. Sumber dari berbagai krisis yang dihadapi
umat sebenarnya terlihat dari cara seseorang menjalankan kehidupannya. Sebab,
sistem nilai dan gambar dunia mendasari kebiasaan dan tindakan mereka, semangat
bekerja.
Etos
Kristen mendorong semangat kerja yang unggul. Diekspresikan dari ketaatan pada hukum
kasih, bukan hukum taurat. Bekerja sebagai anugerah yang harus dipertanggungjawabkan.
Tetapi semua itu hanya berlaku untuk dan demi kelompoknya sendiri, sedangkan
terhadap kelompok dan bangsa lain yang menjadi sasaran eksploitasinya,
kapitalisme mengabaikan nilai-nilai moral dan kemanusiaan.
Weber mencurahkan perhatiannya pada gagasan dan pengaruhnya terhadap
ekonomi. Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958),
Weber membahas pengaruh gagasan keagamaan terhadap ekonomi. Ia memusatkan
perhatian pada Protestanisme terutama sebagai sebuah sistem gagasan, dan
pengaruhnya terhadap kemunculan sistem gagasan yang lain, yaitu semangat
kapitalisme, dan akhirnya terhadap sistem ekonomi kapitalis. Weber mencurahkan
perhatian serupa terhadap agama dunia yang lain, dengan mempelajari bagaimana
cara gagasan keagamaan itu merintangi perkembangan kapitalisme dalam
masyarakatnya masing-masing (Max Weber, 2002:79). Berdasarkan karya-karya Weber ini, kesimpulannya
adalah bahwa Weber mengembangkan gagasan yang bertentangan dengan gagasan Marx.
Konsep legitimasi keteraturan
sosial mendasari analisa Weber mengenai institusi ekonomi, politik, dan agama,
serta interpretasinya mengenai perubahan sosial. Stabilitas keteraturan sosial
yang absah, menurut Weber, tidak tergantung semata-mata pada kebiasaan saja
atau pada kepentingan dari individu yang terlibat. Artinya, uniformitas
perilaku tidak diperkuat oleh sanksi eksternal. Justru sebaliknya, hal ini
didasarkan pada penerimaan individu akan norma-norma atau peraturan-peraturan
yang mendasari keteraturan itu sebagai sesuatu yang dapat diterima atau yang
diinginkan.
2.2 Konsep AGIL dan Tradisi Kerja Tahun
Konsep
AGIL pertama kali dikenalkan oleh Parson. Konsep ini dibuat dalam rangka
menganalisis tingkat bertahannya suatu institusi social dalam perkembangan
masyarakat. Menurut Parson bertahannya suatu system social diakrenakan oleh
didukung atau karena berjalannya sub system di dalamnya. Hubungan teori yang
dikemukakan Parson ini dengan tradisi kerja tahun adalah melihat bahwa tradisi
tersebut sebagai suatu aturan/nilai yang didalamnya terdapat berbagai strategi
untuk terus mewariskan nilai tersebut. Nilai atau aturan tersebut dalam hal ini
lebih diwariskan oleh suatu sub system yang dikategorikan oleh Parson sebagai
subsistem adaptation dan lattern pattern maintenance. Kedua fungsi sub system
ini dalam tradisi kerja tahun fungsinya terlihat dijalankan oleh lembaga
keluarga.
Adapun
AGIL tersebut antara lain:
-
Adaptation: yaitu
kemampuan suatu lembaga memenuhi fungsi fisik dan ekonomi anggotanya. Oleh karenanya
muncullah berbagai cara (strategi) dalam memenuhi kebutuhan hidup tersebut
(ekonomi, makan, pengolahan alam dsb.). Dahulu fungsi ini sepenuhnya diperankan
oleh keluarga namun saat ini sudah banyak juga diperankan oleh beberapa
asosiasi seperti bank, perkreditan, asuransi dan sebagainya.
-
Goal attainment yaitu
kemampuan lembaga untuk memenuhi fungsi membuat aturan-aturan dan tujuan-tujuan
anggotanya. Fungsi ini dapat dilakukan oleh lembaga yang memiliki kekuasaan
yang resmi. Antara lain lembaha peradilan, hukum, keluarga dan agama dsb.
-
Integration yaitu
kemampuan lembaga untuk menyatukan seluruh fungsi-fungsi, aturan-aturan, dan
tujuan-tujuan lembaga. Fungsi ini dapat dijalankan oleh Negara ataupun
pemerintahan.
-
Lattern pattern
maintenance yaitu suatu fungsi untuk memelihara aturan-aturan yang berlaku
dalam keseluruhan sub system tersebut. Fungsi ini dilakukan dalam rangka
mencegah terjadinya pelanggaran atau penyimpangan dalam masyarakat. Fungsi sub system
ini dapat dilakukan oleh lembaga keluarga, agama dan pendidikan.
Dari penjelasan tersebut bahwa peran keluarga sangat
penting dalam berjalannya roda proses social yang terjadi. Keluarga memegang
peranan penting terutama dalam hal tradisi ini. Perubahan – perubahan yang
terjadi setiap detik dan inchinya tidak terlepas dari perubahan – perubahan yang
dialami oleh keluarga. Demikian juga dalam pemaknaan dan pewarisan tradisi
kerja tahun bahwa peran keluarga sangat penting untuk dilihat atau ditelusuri.
2.3 Kebudayaan
Banyak orang terutama para ahli ilmu
sosial, mengartikan konsep kebudayaan itu ke dalam arti yang amat luas yaitu
seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil kaarya manusia yang tidak berakar
kepada nalurinya, dank arena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia ssudah
proses belajar. Konsep itu adalah amat luas karena meliputi hampir seluruh
aktivitas manusia dalam kehidupannya. Jadi, Kebudayaan adalah keseluruhan
gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta
keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.
Wujud
kebudayaan itu ada tiga :
1.
Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan-peraturan dan sebagainnya. Wujud ini sifatnya abstrak,
tidak dapat diraba/difoto, lokasinya ada didalam kepala atau dengan perataan
dan dalam alam pikiran. Kebudayaan ideel ini biasanya berfungsi sebagai tata
kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan
perbuatan manusia dalam masyarakat. Dan dalam fungsi itu terdiri dari beberapa
lapisan yaitu dari yang paling abstrak dan luas sampai yang paling konkret dan
terbatas. Lapisan yang paling abstrak misalnya sistem nilai budaya. Lapisan
kedua yaitu sistem norma-norma adalah lebih konkret, dan sistem hukum yang bersandar
kepada norma-norma adalah lebih konkret lagi. Sedangkan peraturan-peraturan
khusus mengenai berbagai aktivitas sehari-hari dalam kehidupan masyarakat
manusia seperti aturan sopan santun merupakan lapisan adat –istiadat paling
konkret tetapi terbatas ruang lingkupnya.
2.
Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat. Wujud ini sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola
dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas
manusia yang berinterkasi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain dari
waktu ke waktu selalu mngikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata
kelakuan. Sistem sosial ini bersifat konkret terjadi di sekeliling kita, bisa
diobservasi, difoto, dan dikomentasi.
3.
Wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut
kebudayaan fisik dan memerlukan keterangan banyak. Karena merupakan seluruh
total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam
masyarakat maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal
yang dapat diraba, dilihat dan difoto. Contoh, suatu pabrik baja, benda-benda
yang besar dan bergerak seperti perahu, tangki minyak, benda-benda besar dan
indah seperti candi, ada pula benda-benda kecil seperti kain batik dan kancing
baju. (Koentjaraningrat.1981:5).
Terdapat
7 unsur-unsur kebudayaan adalah : Sistem religi dan upacara keagamaan, Sistem
dan organisasi kemasyarakatan, Sistem pengetahuan, Bahasa, Kesenian, Sistem
mata pencaharian hidup, Sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat.1981:2).
Sedangkan menurut Bronislaw Malinoski dalam (Maryati Kun.2001:110) menyebutkan
ada 4 unsur-unsur kebudayaan yaitu:
1.
Sistem
norma-norma yang memungkinkan kerja sama antara anggota masyarakat
2.
Organisasi
ekonomi
3.
Alat-alat
dan lembaga atau petugas pendidikan seperti keluarga dan
4.
Oeganisasi
kekuatan
2.2.1 Budaya dan Pembangunan
Seperti apa yang terdapat dalam
masyarakat Indonesia terkait dengan sistem nilai budaya, ada beberapa nilai
budaya (tradisional) yang tidak cocok dengan pembangunan, namun ada juga yang
mendorong pembangunan. Masih ada sifat-sifat mental budaya yang kita perlukan
untuk mempertinggi kapasitas pembangunan, ialah nilai yang berorientasi
terhadap achievement dari karya, nilai yang mementingkan explorasi, sifat hemat
dan jiwa bersaing.
Terdapat banyak aspek positif dari
nilai budaya yang dapat kita gunakan dalam pembangunan, di mana aspek positif
dari nilai budaya itu adalah bahwa ia dapat memudahkan rencana untuk mengajak
rakyat dalam berpartisipasi untuk pembangunan. Seperti halnya proses
pembangunan negara Jepang, yang membutuhkan waktu yang lama dalam menggunakan
nilai budaya yang terorientasi vertical yang sangat kuat dalam segi mentalitas
yang menggerakkan rakyat, untuk mendisiplinkan rakyat, dan untuk memelihara
loyalitas mutlak dalam jiwa rakyat Jepang terhadap pekerjaan dan negara.
Suatu sifat positif yang dapat kita
lihat dari negara kita (dari semua suku bangsa) adalah konsep yang merupakan
salah satu unsur dalam nilai gotong royong. Unsur itu sebenarnya merupakan
suatu tema berpikir bahwa manusia itu tidak hidup sendirri dalam dunia ini,
tetapi dikelilingi oleh sistem sosial dari komunitas dan masyarakat sekitarnya,
di mana ia merasa dirinya hanya sebagai suatu unsur yang ikut terbawa dalam
proses peredarannya. Suatu cara piker seperti itu, tentu membawa suatu rasa
keamanan nurani amat dalam dan mantap kepada kita, karena pada latar belakang
dari pikiran kita tetap ada bayangan bahwa dalam keadaan malapetaka dan
bencana, pasti ada yang akan membantu kita, dan bahwa kita tak pernah
terisolasi dalam masyarakat, seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat dalam
bukunya “Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan
” (1981).
Dari pernyataan di atas, dapat
disimpulkan bahwa terdapat nilai-nilai budaya yang berperan dalam mendorong
pembangunan. Dalam hal ini, kami beranggapan bahwa budaya pesta tahunan
merupakan salah satu nilai budaya yang dapat membangun mentalitas masyarakat
dalam berpartisipasi untuk mendorong pembangunan khususnya pada masyarakat Karo.
Hal ini dapat terlihat pada jiwa gotong royong yang masih kental dalam
masyarakat Karo, dan motivasi kerja yang dipengaruhi oleh pesta tahunan
tersebut.
2.2.1 Budaya Kerja Tahun Merdang Merdem
Kerja Tahun merdang merdem adalah
sebuah perayaan tradisi suku Karo di Kabupaten Karo. Konon merdang merdem
tersebut merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya dilaksanakan
setelah acara menanam padi di sawah selesai. Perayaan tersebut merupakan bagian
dari ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah
selesai. Teriring doa agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari
hama dan menghasilkan panen yang berlimpah. Momen yang melibatkan seluruh warga
kampung tersebut biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari
jodoh. Setiap acara merdang merdem biasanya dimeriahkan dengan gendang
guro-guro aron yaitu acara tari tradisional Karo yang melibatkan pasangan
muda-mudi. Setiap kecamatan di Tanah Karo merayakan merdang merdem pada bulan
yang berbeda. Kecamatan Munte merayakan merdang merdem pada hari ke-26 beraspati medem kalender Karo yang
biasanya jatuh di bulan juli.
Pergi
ke sawah atau ladang juga dilarang pada hari itu. Seperti halnya arti rebu itu sendiri
yang artinya tidak saling menegur, hari itu adalah hari penenangan diri setelah
selama enam hari berpesta. Beragam kesan tinggal melekat dalam hati masing-masing
penduduk kampung. Hari besok telah menanti untuk kembali melakukan
aktifitas sebagaimana hari-hari biasanya.
Jenis makan yang biasa disajikan
oleh masyarakat Karo dalam acara pesta tahunan adalah cimpa, lemang, terites,
rendang, acar, cipera, dan lainnya. Bahan masakan tradisional Karo terbuat dari
bahan alami yang merupakan hasil racikan sendiri dari warisan nenek moyang
terdahulu. Dalam perayaan acara pesta tahunan makanan haruslah dihidangkan,
karena dalam prinsip masyarakat suku Karo memberi makanan kepada orang lain
ataupun saudara/tamu yang datang ke rumahnya merupakan suatu penghormaatan dan
bagian dari adat. Dalam persiapan menyediakan masakan-masakan tersebut
masyarakat Karo akan saling bekerja sama dalam suatu rumah tangga dengan
membagi pekerjaan masing-masing dalam proses pembuatan makanan yang akan
dihidangkan untuk tamu. (Darwan Prinst, 2008: 224-227).
2.3 Etos Kerja
Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos)
yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas
sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok
bahkan masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya,
serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etos ini, dikenal pula kata
etika, etiket yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau
nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk (moral), sehingga dalam etos
tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk menyempurnakan
sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas
kerja yang sesempurna mungkin.
Kerja, secara etimologi diartikan
(1) sebagai kegiatan melakukan seseuatu, (2) sesuatu yang dilakukan untuk
mencari nafkah. Etos kerja menurut Abdullah, adalah “alat dalam pemilihan”.
Definisi yang dikemukakan tersebut lebih meletakkan manusia sebagai makhluk
Tuhan yang mempunyai keistimewaan tersendiri, diantaranya adalah kemampuan
untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini terkandung pula
makna bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai keharusan untuk bekerja dan
merupakan hal yang istimewa yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Kerja adalah
suatu aktivitas yang menghasilkan suatu karya. Karya yang dimaksud, berupa
segala yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan, dan selalu berusaha
menciptakan karya-karya lainnya.
Jadi, etos kerja merupakan; (1)
dasar motivasi yang terdapat dalam budaya suatu masyarakat, yang menjadi
penggerak batin anggota masyarakat pendukung budaya untuk melakukan suatu
kerja. (2) nilai-nilai tertinggi dalam gagasan budaya masyarakat terhadap kerja
yang menjadi penggerak bathin masyarakat melakukan kerja. (3) pandangan hidup
yang khas dari sesuatu masyarakat terhadap kerja yang dapat mendorong keinginan
untuk melakukan pekerjaan. Etos kerja atau semangat kerja yang merupakan
karakteristik pribadi atau kelompok masyarakat, yang dipengaruhi oleh orientasi
nilai-nilai budaya mereka. Antar etos kerja dan nilai budaya masyarakat sangat
sulit dipisahkan.
(http://www.referensimakalah.com/2012/09/pengertian-etos-kerja.html diakses pada tanggal 3 April 2013 pukul
17.00 wib)
2.3.1 Etos Kerja pada
Masyarat Pedesaan
Etos kerja pada masyarakat pedesaan dalam hal
ini dapat kita lihat pada 2 (dua) topik seperti yang tertulis pada Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI (1995: 92-117), yaitu:
2.3.1.1 Etos kerja dan
Nilai Budaya Petani Pemilik Lahan
Aktivitas penduduk di sector
pertanian adalah salah satu bentuk mata pencaharian atau pekerjaan yang pada
hakekatnya merupakan suatu aktivitas manusia untuk mempertahankan hidupnya dan
untuk memperoleh taraf hidup yang layak. Dalam kaitannya dengan pekerjaan,
petani pada umumnya melihat bahwa pekerjaan di sector pertanian merupakan
pekerjaan paling utama. Menurut mereka, pekerjaan seperti itu merupakan warisan
dari orang tua mereka terdahulu. Bahkan banyak petani beranggapan bahwa jenis
pekerjaan di bidang pertanian merupakan takdir Tuhan. Mobilitas pekerjaan dari
jenis satu ke jenis lainnya umumnya disebabkan oleh hasil dari suatu pekerjaan
tertentu sudah tidak memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarganya, di lain pihak
tersedia kesempatan bekerja di bidang lainnya yang lebih menjanjikan hasil
relatif lebih baik.
Lahan pertanian bagi masyarakat yang
berkecimpung dalam bidang pertanian, memiliki kedudukan yang sangat penting.
Hal ini disebabkan lahan atau tanah merupakan suatu kekayaan yang mempunyai
kedudukan penting bagi masyarakat umumnya dan lebih khusus petani, karena
merupakan factor produksi yang dapat dikelola menjadi suumber pendapatan rumah
tangga. Oleeh karena begitu pentingnya lahan pertanian bagi petani, maka rumah
tangga yang mempunyai lahan pertanian yang luas memungkinkan memperoleh
pendapatan dari pertanian yang lebih tinggi, dalam masyarakat pedesaan sering
status sosial ditentukan oleh luas lahan yang dimiliki atau dikuasai. Bahkan
ada kecenderungan masyarakat petani di daerah pedesaan bila memungkinkan akan
menambah luas lahan yang dikuasai. Hal ini disebabkan selain memberikan
pendapatan yang relatif besar dan status sosial, juga memperoleh asset atau
kekayaan yang dapat diwariskan kepada anak keturunannya.
Menurut The Liang Gie, seorang
pekerja dalam hal petani pemilik tidak mungkin melakukan cara kerja yang baik
jika tidak memenuhi syarat tertentu yang diperlukan dalam melakukan jenis
pekerjaan tertentu, yaitu etos kerja dan kemampuan atau keterampilan kerja. Di
samping itu, etos kerja seseorang yang melakukan pekerjaan dengan
sebaik-baiknya ditentukan oleh factor ekstern maupun intern. Factor ekstern
dapat berupa pendapatan atau penghasilan yang rill dari pekerjaannya. Sedangkan factor intern merupakan
pemuasan kebutuhan individu dan
keluarganya yang didapatkan suatu pekerjaan seperti harga diri atau nama baik
dalam pandangan orang lain. Dengan demikian, semakin baik factor-faktor
tersebut akan mendorong seseorang pekerja semakin semangat untuk melakukan
pekerjan yang ditekuni. Aspek etos kerjanya dapat dilihat pada beberapa unsur
seperti kerja keras, disiplin, rajin dan tekun, jujur dan tanggung jawab, dan
kemandirian.
2.3.1.2 Etos Kerja dan Budaya Buruh Tani
Pengertian buruh tani dalam hal ini adalah
seorang yang mempunyai pekerjaan dalam bidang pertanian, namun lahan yang
digarap milik orang lain dengan cara bagi hasil, upah harian, borongan dengan
uang, makan dan kesepakatan lainnya. Jenis aktivitasn buruh tani walaupun
secara langsung terlibat dalam usaha tani, namun dianggap sebagai penjua jasa
seperti pekerjaan non pertanian. Dengan demikian, pekerjaan buruh tani memiliki
dua pengertian, yaitu sebagai pekerjaan petani yang sedikit terlibat dalam
usaha tani atau dapat juga disebut pekerjaan non pertanian karena hanya menjual
jasa semata-mata. Namun, dalam hal ini tidak ingin membedakan jenis buruh tani tersebut
melainkan semuanya dimasukkan sebagai kegiatan buruh tani.
Kegiatan buruh tani merupakan salah
satu pekerjaan yang mempunyai arti penting bagi sebagian besar masyarakat
pedesaan. Pada umumnya, orang sepakat bahwa bekerja merupakan suatu keharusan
dan sangat penting bagi orang hidup. Orang desa pada umumnya, dan khususnya
buruh tani jarang berspekulasi mengenai hakekat kerja mereka, tentang pekerjaan
serta hasil usaha mereka kecuali yakin bahwa mereka selalu berusaha dan bekerja
keras (Koentjaraningrat 1984: 437). Namun, secara umum pula masyarakat daerah
pedesaan dapat memberikan ukuran yang baik dan perlu dilakukan dalam menempuh suatu
pekerjaan.
Etos kerja buruh tani dalam
hubungannya denga pekerjaan yang ditekuninya memuat beberapa aspek seperti
petani, yaitu kerja keras, disiplin, rajin, kejujuran, dan kemandirian. Hal ini
disebabkan aspek-aspek itu merupakan unsur penting yang dapat menentukan
keberhasilan suatu pekerjaan. Dengan demikian, dari alasan-alasan yang
berkaitan dalam aspek kerja dapat mengetahui dasar motivasi masyarakat menjadi
penggerak untuk melakukan kerja, nilai tertinggi terhadap kerja bagi yang
melakukan dan pandangan hidup yang khas masyarakat terhadap lapangan pekerjaan
yang dapat mendorong keinginan melakukan pekerjaannya.
Dalam kesempatan kali ini, kami
tidak meneliti etos kerja masyarakat pedesaan yang dilihat dari pekerjaan dan
kepemilikan. Namun dalam hal ini kami meneliti tentang peran budaya kerja tahun
dalam membangun etos kerja pada masyarakat pedesaan, tepatnya di desa Singa,
Kec. Tiga panah, Kab. Karo. Dimana dalam penelitian ini, kami akan melihat
nilai-nilai budaya yang berperan dalam menggerakkan masyarakat disana untuk
meningkatkan etos kerjanya, dalam hal ini kami fokuskan pada kegiatan persiapan
masyarakat dalam merayakan pesta tahunan yang dilakukan setiap tahunnya.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis
Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah dengan
penelitian Deskriptif (descriptive research) dengan pendekatan Kualitatif.
Tujuan penelitian Deskriptif adalah
untuk membuat pecandraan secara sistematis, factual, dan akurat mengenai
fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu (Sumadi,1995:18)
Penelitian kualitatif dapat
diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau informasi
yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek atau bidang
kehidupan tertentu pada objeknya.
3.2
Lokasi Penelitian
Penelitian
ini dilakukan di Desa Singa, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo.
3.3 Unit
Analisis dan Informan
3.3.1
Unit Analisis
Unit
analisis data merupakan suatu langkah yang sangat kritis dalam penelitian (Sumadi,1995:85).
Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah Masyarakat yang
tinggal di Desa Singa, Kec,Tigapanah, Kab,Karo.
3.3.2.
Informan
Informan dalam penelitian ini adalah Masyarakat yang tinggal di Desa Singa Kec. TigaPanah Kab. Karo. Pemilihan
informan dilakukan dengan bola salju yakni mencari informan dari informasi
informan sebelumnya. Adapun informan yang dipilih adalah informan yang masih
melaksanakan tradisi kerja tahun dan juga tokoh yang diakui oleh masyarakat.
3.3
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan untuk
memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian.
Dalam hal ini teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara terbuka
pada informan di Desa Singa,
Kec,Tigapanah, Kab,Karo. Peneliti terlebih dahulu telah menyusun draf
pertanyaan (kuesioner) agar penelitian tidak keluar dari perumusan masalah yang
telah dirancang. Pertanyaan – pertanyaan yang telah disusun tersebut hanyalah
pertanyaan umum yang masih dapat diperluas (probing) atau diperdalam saat
berada di lapangan penelitian.
3.4.1
Data Primer
Dalam
mendapatkan data primer dalam menjawab masalah dalam penelitian ini dilakukan
dengan mengadakan studi lapangan:
3.4.1.1
Metode Wawancara
Wawancara
mendalam dengan cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung
bertatap muka dengan informan, dengan maksud mendapatkan gambaran lengkap
tentang topik yang diteliti. Wawancara dilakukan secara berulang-ulang untuk
mendapatkan informasi yang akurat dengan menggunakan alat perekam dan wawancara
untuk bantuan wawancara (Sumadi,1995:86)
3.4.1.2
Observasi
Observasi
atau pengamatan yaitu pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data
penelitian. Data penelitian diperoleh dengan pengamatan langsung terhadap
gejala yang tampak pada penelitian.
3.4.2
Data Sekunder
Data
sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber data atau sumber sekunder (Sumadi,1995:79).
Data sekunder ini diperoleh dari buku-buku referensi jurnal, majalah, surat
kabar, internet yang dianggap relevan dengan
masalah yang diteliti.
3.5
Interpretasi Data
Interprestasi
data merupakan upaya untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan
luas terhadap hasil penelitian yang dilakukan. Pembahasan hasil penelitian
dilakukan dengan cara meninjau hasil penelitian secara kritis dengan teori yang
relevan dan informasi akurat yang diperoleh dari lapangan. Data-data yang
dipeoleh dari lapangan diatur, diurutkan dikelompokkan dalam kategori, pola
atau uraian tertentu. Di sini peneliti mengelompokkan data-data yang diperoleh
dari hasil wawancara. (Sumadi,1995:86)
BAB IV
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DAN
INTERPRETASI DATA
4.1 DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN
4.1.1 SEJARAH DESA
Menurut informan yang bernama Firman
Purba berusia 60 tahun dan merupakan salah satu dari pengetua adat di Desa
Singa tersebut menceritakan tentang sejarah asal muasal desa tersebut. Menurut
bapak Firman Purba desa tersebut dijuluki sebagai Desa Singa karena pembuka
desa tersebut (simanteki kuta) bermarga Ginting Sinusinga yang merupakan tuan
tanah di desa tersebut. Ginting sinusinga membuka daerah tersebut menjadi
tempat tinggalnya dengan para keturunan-keturunannya hingga mereka bertambah
banyak jumlahnya dan membentuk sebuah perkampungan yang disebut Desa Singa.
Hampir secara keseluruhan masyarakat yang kami wawancarai mengenai sejarah Desa
Singa menjelaskan bahwa desa tersebut dinamakan Desa Singa karena pembuka tanah
tersebut adalah marga Ginting Sinusinga. Hingga yang ditetapkan menjadi tuan
tanah didesa tersebut adalah keturunan dari Ginting sinusinga dan memiliki anak
beru (penerima dara dari merga Sinusinga) adalah bermarga Karo-Karo dan Tarigan
sebagai kalimbubu kuta (pemberi dara kepada merga Sinusinga).
Adapun susunan pemerintahan Desa
Singa pada tahun 2013 adalah sebagai berikut :
Kepala
desa : Wahidin Ginting
Sekretaris
desa : Ramlan Purba
Bendehara
desa : Awaludin Sitepu
Sistem pemilikan lahan pada
masyarakat adalah berdasarkan adat yaitu sistem pewarisan kepada anak
laki-laki. Pada awalnya pengaturan kepemilikan lahan diatur oleh pengulu.
Sistem kepemilikan ini berdasarkan keturunan marga Ginting sebagai pemilik
tanah. Kepemilikan tanah bagi klan lain merupakan pemberian dari klan marga Ginting
yang dapat diwariskan turun-temurun kepada klan penerima tanah. Selain itu
terdapat juga tanah adat bersama yang dinamakan kerangen kuta (hutan desa).
Sistem ini berakhir setelah berakhirnya masa kerajaan dan masuknya ke negara
republik. Sistem kepemilikan tanah menjadi hak milik perorangan dan dapat
diperjualbelikan tanpa ada urusan yang berhubungan dengan klan marga pemilik
tanah.
Pada perkembangannya desa Singa tidak
hanya dihuni oleh suku Karo saja. Pekerjaan penduduk yang mayoritas adalah
petani, membutuhkan tenaga kerja di lahan pertanian mereka. Suku Batak, Nias,
dan suku Jawa sebagai suku perantau juga terdapat di desa ini. Awalnya mereka
adalah para pekerja di lahan pertanian warga kemudian menetap sebagai penduduk
di desa tersebut. Selain itu kedatangan suku-suku lainnya juga disebabkan oleh
faktor perkawinan eksogami.
4.1.2
KEADAAN GEOGRAFIS DESA
Desa Singa merupakan desa yang
berada di Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo. Dimana desa ini berjarak
sekitar 11 km dari ibukota kecamatan atau Tiga Panah, dan berjarak 3 km dengan
ibukota kabupaten yaitu Kabanjahe. Dimana desa ini memiliki batas utara dengan
Desa Kandibata, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kuta Mbelin, di
sebelah timurnya berbatasan dengan Desa Bunuraya, dan di sebelah baratnya
berbatasan dengan Desa Lau Simomo. Desa Singa berada pada ketinggian 1192 dari
permukaan laut.
Luas Desa Singa adalah 117,5 Ha.
Dimana tanah yang dipakai untuk pemukiman berkisaran pada 10 Ha, yang dipakai
untuk tegalan atau lahan kering seluas 100 Ha, hutan lebat seluas 2 Ha, belukar
dengan luas 5 Ha, dan lahan lain-lainnya seluas 0,5 Ha.
Desa ini dibagi menjadi 2 bagian
wilayah dengan memiliki 2 buah aula atau jambur juga. Dimana untuk bagian
utaranya, disebut dengan wilayah kesain si mbelang dan di bagian selatannya
disebut dengan wilayah kesain durin. Untuk perayaan kerja tahun, keduanya
merayakan secara bersamaan namun kedua jambur yang ada di setiap wilayahnya
memiliki acara gendang yang berbeda. Dengan kata lain bahwa gendanng serta
panitianya gendangnya juga berbeda melihat luas dan jumlah penduduk desa Singa
yang begitu besar.
4.1.3
SARANA DAN PRASARANA DESA
Terdapat beberapa prasarana desa
yang fungsinya membantu penduduk desa Singa dalam melakukan kegiatannya
sehari-hari. Dimana prasarana ini mendapat berupa pemberian pemerintah maupun
hasil dari penduduk itu sendiri.
1.
Perhubungan
Dimana prasarana ini sangat berpengaruh pada kelancaran aktivitas
penduduk desa Singa. Terdapat beberapa prasarana terkait perhubungan ini adalah
seperti jalan aspal, jalan batu, jalan tanah, dan jembatan. Dan terdapat
beberapa sarana perhubungan untuk mendukung perhubungan ini seperti mobil atau
bus, sepeda motor, TV atau radio, dan surat kabar.
2.
Pemasaran
Pemasaran dalam hal ini merupakan prasarana yang membantu
masyarakat dalam berusaha. Seperti halnya kios atau warung, pertokoan, dan
koperasi.
3.
Produksi
Prasarana ini membantu penduduk desa Singa dalam hal
produksi. Prasana dalam bidang produksi yang dimiliki Desa Singa terdapat
seperti saluran irigasi, dan kilang padi.
4.
Sosial
Prasarana ini sangat membantu penduduk dalam bidang
sosial yang menyangkut kehidupan sosial penduduknya. Desa Singa terdapat
beberapa prasarana sosial seperti SD Negeri dan Swasta sebanyak 1 buah, SLTP
Sederajat yang sebanyak 1 buah, Gereja sebanyak 4 buah, Rumah permanen sebanyak
150 buah, rumah semi permanen sebanyak 250 buah, rumah kayu sebanyak 70 buah,
rumah panggung sebanyak 70 buah, dan Puskesmas atau BKIA sebanyak 1 buah. Untuk
penduduk yang beragama muslim, dapat beribadah di desa sebelah karena belum ada
Mesjid di desa ini.
4.1.4
PENDUDUK
Penduduk Desa Singa berjumlah 2193
jiwa dengan 540 kk. Dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 731 jiwa,
sedangkan jumlah penduduk perempuan sebanyak 1462 jiwa.
Jumlah
penduduk secara terperincinya dapat kita lihat pada penggolongan berdasarkan
tingkat umur dan dapat kita lihat pada tabel dibawah ini.
Tingkatan Umur
|
Jumlah Penduduk
|
0 – 1 tahun
|
109 jiwa
|
2 – 5 tahun
|
548 jiwa
|
5 – 7 tahun
|
585 jiwa
|
8 – 14 tahun
|
485 jiwa
|
15 – 39 tahun
|
618 jiwa
|
40 – 59 tahun
|
328 jiwa
|
60 tahun keatas
|
73 jiwa
|
Total :
2193
Semua penduduk Desa Singa juga telah
menganut beberapa agama yang telah diakui di negara Indonesia. Dimana penduduk
ini dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan agama yang dianutnya,
yaitu:
Agama
|
Jumlah Penganut
|
Islam
|
117 jiwa
|
Khatolik
|
518 jiwa
|
Kristen
|
1558 jiwa
|
Buddha
|
-
|
Hindu
|
-
|
Jumlah : 2193 jiwa
Penduduk Desa Singa juga dapat
dibagi berdasarkan tingkat pendidikan penduduknya. Dapat terlihatpada tabel
dibawah ini.
Tingkat Pendidikan
|
Jumlah
|
Belum Sekolah
|
208 jiwa
|
Tidak Tamat SD
|
294 jiwa
|
Tamat SD
|
800 jiwa
|
Tamat SMP
|
698 jiwa
|
Tamat SMA
|
500 jiwa
|
Tamat Perguruan Tinggi
|
82 jiwa
|
Jumlah : 2193 jiwa
Berdasarkan mata pencaharian,
penduduk Desa Singa yang dalam kategori usia produktif yang bekerja dapat
dibagi menjadi beberapa kelompok seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini.
Mata Pencaharian
|
Jumlah
|
Bertani
|
625 jiwa
|
Pegawai negeri/swasta
|
30 jiwa
|
Dagang
|
25 jiwa
|
Dan lain-lain
|
42 jiwa
|
Jumlah: 722 jiwa
Hasil produksi dari desa Singa ini
dapat terlihat dari hasil pertanian, perdagangan, peternakan, jasa, dan
sebagian kecil ada berupa
industri. dimana hasil pertaniannya dapat berupa padi sawah dan ladang,
kacang-kacangan, ubi-ubian, sayur-sayuran, buah-buahan, jagung, kopi, dan
cengkeh. Hewan ternak yang biasa dipelihara oleh masyarakat desa Singa adalah
kerbau, lembu, babi, kambing, ayam atau itik. Pada bidang perdagangan dapat
terlihat bentuk usaha masyarakat desa
Singa berupa kios atau warung, pertokoan, dan lain-lain. Dalam bidang jasa,
dapat terlihat beberapa jenis pekerjaan jasa yang terlihat dari masyarakatnya
seperti pegawai negeri, pegawai swasta, pertukangan, dan jasa lainnya. Dan pada
bidang industri dapat kita temukan seperti industri kerajinan tangan seperti
halnya industri keranjang.
4.1.5
PEREKONOMIAN
Desa Singa berada pada dataran
tinggi yang subur, hal ini dikarenakan desa ini tidak berada jauh dari gunung
berapi Sibayak dan Sinabung. Sebanyak 87% penduduknya atau 625 orang
menggantungkan hidupnya terhadap pertanian. Dan selebihnya bekerja di sektor
lainnya.
Kegiatan pertanian terbagi kedalam
dua jenis yaitu pertanian lahan kering dan lahan basah. Untuk lahan pertanian
berupa perladangan dimana penduduk menanam tanaman holtikultura (tanaman muda)
yaitu buah dan sayuran. Tanaman umumnya ditanam warga desa adalah cabai,
jagung, brokoli, kol, terong, tomat, dan jeruk. Namun pada saat ini, yang
dahulunya banyak menanam jeruk telah beralih menjadi tanaman kopi karena
tanaman jeruk terkena hama. Pada lahan basah terdiri dari sawah irigasi,
tanaman pangan seperti padi umumnya ditanam untuk konsumsi rumah tangga. Padi
di daerah ini dipanen pada usia enam bulan oleh karenanya hanya dapat dilakukan
sekali masa tanam dalam setahun, dimana enam bulan selebihnya lahan basah itu
diatur irigasinya untuk ditanam jenis tanaman lain seperti cabai dan jagung.
4.1.6
KONDISI SOSIAL BUDAYA
Masyarakat Karo yang tinggal di desa
Singa masih melaksanakan upacara-upacara adat istiadat Karo misalnya pada saat
upacara perkawinan,
kematian, kelahiran anak, buka kunci, dan acara sakral lainnya. Adat istiadat Karo
lainnya dapat juga dilihat dari pelaksanaan perayaan tradisi seperti kerja
tahun (pesta tahunan) yang dilaksanakan setiap bulan oktober. Solidaritas
masyarakat juga terlihat dengan adanya serikat tolong menolong yang dinamakan
persadan (persatuan) untuk setiap marga-marga yang ada disana, misalnya persadan
marga Ginting, persadan marga Tarigan, dan persadan lainnya. Anggota persadan
ini bertujuan untuk saling menolong anggotanya terutama dalam mengalami duka
cita atau perkawinan.
Sistem sangkep nggeluh yang dianut masyarakat Karo membuat semua warga
memiliki hubungan persaudaraan (perkade-kaden) baik sembuyak, senina, anak beru
(pihak penerima dara), dan kalimbubu (pemberi darah). Hasil tersebut terbentuk
ketika ada hajatan besar seperti pesta perkawinan maka semua warga lain akan
turut terlibat pada bagiannya masing-masing.
Sistem pengelolaan lahan pertanian
saat ini pada masyarakat Karo kebanyakan mengerjakan lahan masing-masing. Namun
telah banyak juga para pekerja yang disebut dengan aron. Aron dalam hal ini
merupakan orang-orang yang mengerjakan lahan yang diberi upah oleh pemilik
lahan.
Masyarakat Karo yang ada pada desa
ini semuanya sudah menganut salah satu agama yang telah diakui oleh pemerintah.
Penduduk desa ini tidak ada lagi yang menganut kepercayaan tradisional Karo
yaitu pemena ataupun perbegu. Sekalipun tidak ada lagi
penganut agama tradisional Karo bukan berarti bahwa semua tradisi atau budaya Karo
telah hilang dari masyarakat Karo di desa ini.
4.2
PROFIL INFORMAN
1. Nama : Awaludin Sitepu
Usia : 51 tahun
Pekerjaan : Bendahara dalam
perangkat Desa Singa
Menurut beliau, pesta tahunan merupakan suatu momen yang “bersedekah tanpa
pamrih”. Di mana pada saat pesta tahunan, masyarakat memberi makan
saudara-saudara ataupun kerabatnya (sangkep nggeluh: kalimbubu, sembuyak, dan
anak beru), karena sudah selesai melaksanakan panen yang mana sebelumnya pada
proses penanaman dilakukan bersama oleh kerabat tersebut. Pada saat pesta
tahunan bukan hanya keluarga saja yang diberi makan tetapi siapa saja yang
datang ke rumah pasti akan diberi makan dan bertutur (berkenalan). Maka dari
itu, setiap masyarakat harus mempersiapkan hidangan makanan sebanyak-banyaknya
karena pasti akan banyak yang datang untuk makan ke rumah. Hal memberi makan
banyak orang ini tidak menjadi beban bagi masyarakat/pemilik rumah karena dalam
prinsip masyarakat Karo semakin banyak orang yang datang makan ke rumah berarti
dia merupakan orang baik/ramah selama
ini dan semakin banyak yang datang makan semakin banyak rejeki. Budaya seperti
ini sudah merupakan warisan dari nenek moyang masyarakat Karo yang mana
sebelumnya juga sudah dilaksanakan oleh nenek moyang dan diwariskan kepada
generasinya.
Pak Awaludin menjelaskan,
mungkin pada saat kalian bertanya kepada masyarakat mengenai apa arti dari
kerja tahun bisa saja mereka hanya menjawab bahwa kerja tahun merupakan suatu
pesta panen yang dirayakan setiap tahunnya dan merupakan momen melepas rindu
terhadap anak saudara yang berada jauh dari tempat kelahirannya, bisa juga
momen ajang cari jodoh bagi anak muda hal itu memang benar. Namun suatu makna
yang belum dimengerti oleh kebanyakan orang dari pesta tahunan yang sebelumnya
juga dilaksanakan oleh nenek moyang ialah suatu budaya memberi makan orang
sebanyak-banyaknya tanpa mengharapkan
imbalan karena dalam masyarakat Karo suka dengan berkumpul bersama
keluarga dan makan bersama merupakan suatu kebanggan. Bisa bercerita panjang
lebar, saling tukar informasi, berkumpul dan bisa menjodohkan anak-anak mereka
dan bisa menikmati pesta bersama. Untuk mempersiapkan itu semualah sehingga
masyarakat suku Karo terkhusus masyarakat Desa Singa semakin bersemangat untuk
bekerja dalam upaya memenuhi kebutuhan pesta tahunan yang cukup banyak dan
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Upaya-upaya yang biasa dilakukan oleh pak
Awaludin beserta keluarganya adalah menambah jam kerja ke ladang yang mana
biasanya mereka ke ladang pukul 10.00 wib-14.00 wib menjelang pesta tahunan
mereka menambah jadwal bekerja di mana mereka berangkat ke ladang pukul 08.00
wib-17.00 wib dan menambah jenis tanaman di lahan mereka yang bisa cepat
dijual.
Penjelasan pak Awaludin lagi di
mana beliau beserta keluarga belum pernah tidak mengikuti pesta tahunan karena
tidak ada alasan untuk tidak mengikuti pesta tahunan, ekonomi bukan merupakan
jadi penghalang mengikuti pesta tahunan untuk itu karena takut malu dan
dipinggirkan sehingga mereka akan terus berupaya bekerja atau menjual
sayur-sayuran di ladang mereka untuk dana memenuhi kebutuhan pesta tahunan.Pada
masyarakat Desa Singa hingga saat ini belum ada yang tidak ikut dalam
memeriahkan acara pesta tahunan. Meskipun tidak memiliki uang untuk persiapan
kebutuhan pesta tahunan masyarakat akan terus berupaya seperti semakin giat
bekerja, minjam kepada kerabat lain dan menjual hasil ladangnya. Memang pada
kondisi belakangan ini penghsilan masyarakat sudah menurun yang biasanya
mayoritas masyarakat menanam jeruk namun sekarang batang jeruk sudah banyak
rusak dan sekarang masyarakat tidak menanam jeruk lagi tapi beralih kepada
tanaman sayuran seperti terong, cabai, tomat, kol, sayur putih dan lain-lain
tapi hal tersebut tidak menjadi penghalang masyarakat untuk melaksanakan pesta
tahunan.
Menurut Pak Alwaludin,
pesta tahunan itu sangat penting dan harus dilaksanakan dalam masyarakat Karo khususya di desa Singa
karena pesta tahunan merupakan salah satu budaya yang ada dalam masyarakat Karo
yang mempunyai banyak makna bagi setiap orang yang melaksanakannya. Dan bahkan
ini sudah menjadi salah satu keunikan khusus budaya suku Karo dibanding dengan
suku-suku yang lainnya. Dan bagi masyarakat Karo, merayakan pesta tahunan ini
lebih berharga daripada merayakan tahun baru. Di desa Singa melaksanakan pesta
tahunan rutin setiap tahunnya. Dalam moment pesta tahunanlah hiburan bagi
masyarakat Desa Singa yang biasanya sehari-hari pagi-pagi sudah pergi keladang
dan ada yang pulang sore ke rumah, tiba dirumah memasak dan istirahat begitu
setiap harinnya. Maka dari itu masyarakat tetap mempertahankan budaya pesta
Tahunan ini agar mana hubungan dengan kerabat dan masyarakat juga tetap
terjaga. Pesta tahunan di Desa Singa biasanya dilaksanakan di minggu terakhir
bulan Maret. Persiapan untuk pesta tahunan oleh muda-mudi sudah dilaksanakan
sejak tiga bulan sebelum hari H. Budaya Pesta tahunan di Desa Singa sudah
dilaksanakan sejak dulu dan menurut penjelasan pak Awaludin tidak
terprediksikan.
Adapun persiapan yang dilakukan oleh masyarakat menjelang
pesta tahunan adalah mempersiapkan rumahnya seperti kebersihan menyuci tikar,
selimut , panci-panci, membersihkan dan menanam bunga di halaman rumah,
menjemur bantal, tilam, mengecat rumah, membeli bumbu dapur sebagai bahan
masakan, mempersiapkan makanan yang akan dihidangkan, mengundang para kerabat
dan bagi para muda/mudi bekerja sama dalam mempersiapkan acara pesta dan
belajar menari tradisional Karo yang akan ditampilkan di pesta tahunan dan akan
dipertontonkan kepada banyak orang.
Proses persiapan
masyarakat dari awal hingga acara pesta tahuhnan selesai yaitu tahap awal di
mana para tuan tanah (simanteki kuta) beserta kerabatnya (sangkep
nggeluh:kalimbubu, sembuyak, anak beru), perangkat Desa dan masyarakat Desa
bersama-sama bermusyawarah di jambur dalam rangka membicarakan mengenai pesta
tahunan yang sudah dekat. Seluruh masyarakat dihimbau untuk saling bekerja sama
dalam mempersiapkan pesta tahunan. Orang tua berperan hanya sebagai
pembimbing/penasehat saja dan yang bekerja sepenuhnya mempersiapkan acara pesta
tahunan adalah muda-mudi Desa Singa itu sendiri. Muda-mudi bekerja bersama
dalam mempersiapkan acara apa yanga akan ditampilkan dan mencari dana untuk
pesta seperti mengirim proposal ke masyarakat Desa Singa yang pergi merantau ke
kota lain dan sudah berhasil, memberi proposal kepada UD pupuk atau usaha-usaha
masyarakat sekitarnya dan meminta sumbangan kepada mobil yang melintasi Desa
Singa. Satu hari sebelum hari H muda/mudi mempersiapkan tempat dijambur dan
mulai untuk medekorasi dan mempersiapkan pentas. Biasanya hiburan yang
ditampilkan tidak hanya tarian muda-mudi (guro-guro aron) saja tetapi bagi para
kaum orang tua juga dipersilahkan untuk menari ke atas pentas dan dimeriahkan
juga oleh penyanyi Karo, perkolong-kolong dan tampilan musik terdisional Karo.
Setelah selesai acara pesta tahunan di Desa Singa masyarakat biasanya kembali
lagi untuk membersihkan rumah dan istirahat.
Tidak terdapat keunikan
untuk pelaksanaan acara pesta tahunan di Desa Singa tersebut karena sama saja
dengan daerah-daerah sekelilingnya dimana pada saat pesta tahunan wajar bila
memberi makan banyak orang meskipun tidak dikenal. Terdapat perubahan pesta
tahunan di Desa Singa yang mana sebelumnya dalam pelaksanaan pesta orang tualah
yang berperan dominan baik dalam mempersiapkan acara pesta, mencari dana namun
sekarang ini sudah muda-mudi atau karang taruna yang bekerja dalam
mempersiapkan acara pesta tahunan baik dalam mencari dana dan hiburan.
Sebelumnya menjelang pesta tahunan seluruh masyarakat dikenakan membayar biaya
partisipasi untuk memeriahkan acara pesta tahunan, namun sekarang biaya pesta
tahunan tidak dikenakan sama sekali kepada penduduk desa melainkan dikenakan
kepada pengusaha-pengusaha setempat dan masyarakat yang sudah sukses di luar
Desa Singa. Perbedaan lain juga terdapat pada kostum muda mudi saat pesta
tahunan. Pada zaman dahulu muda/mudi menggunakan pakaian adat tradisional Karo
tapi sekarang muda/mudi cukup menggunakan sarung dan pakaian biasa saja.
2.
Nama : Firman Purba
Usia :
60 tahun
Pekerjaan : Pensiunan Pegawai Negeri
Bapak ini merupakan salah satu tokoh adat yang ada di
desa ini, dan merupakan mantan kepala desa sekitar 30 tahun silam, dimana bapak
ini menjabat kepala desa sejak umurnya masih 25 tahun dan telah menjadi kepala
desa termuda di desa ini. Bapak ini merupakan masyarakat asli
desa ini, dimana ibu bapak ini merupakan bagian dari marga sinusinga itu
sendiri. Sehingga bapak ini merupakan bagian dari tuan tanah desa ini karena
marga yang manteki kuta (yang membentuk desa) adalah marga Ginting sinusinga.
Menurut
sepengetahuan beliau, kerja tahun tetap terlaksana dari tahun ke tahun bahkan
dari masa kakek dan neneknya. Kerja tahun tetap terlaksana tanpa
mempertimbangkan keadaan ekonomi karena dipandang secara adat, kerja tahun merupakan
sebuah kewajiban untuk mengucapkan puji syukur kepada yang maha kuasa atas
rezeki atau hasil yang didapat selama ini. Kerja tahun ini tetap dilakukan atau
tetap dipertahankan karena masih adanya kepercayaan terhadap keyakinan dulu
seperti halnya untuk meminta roh nenek moyang atau roh lainnya untuk
menambahkan rezeki.
Pada
zaman dahulu, kerja tahun sangat erat dengan ritual-ritual yang masih sangat
dijaga kesakralannya. Seperti halnya menyiapkan sesajian pada roh yang dipuja.
Dan pemujaan ini dilakukan oleh masyarakat desa secara keseluruhan. Namun hal
ini telah berubah dan telah banyak yang ditinggalkan untuk saat ini, melihat
bahwa hal itu telah bertentangan dengan ajaran agama.
Dahulu,
sebelum tahun 80-an, kerja tahun di desa Singa dilakukan sebanyak 2 kali dalam
setahun, yaitu pada
bulan 3 dan bulan 7. Dimana pada bulan 3 merupakan masa panen, dan kerja tahun
ini dilaksanakan untuk mengucapkan rasa syukur atas rezeki yang di dapat dari
hasil panen. Sedangkan pada bulan 7 adalah pada masa menanam, kerja tahun
dilaksanakan guna mengharapkan tanaman itu akan bertumbuh dengan baik dan
mendapat hasil yang baik juga. Namun hal ini telah berubah, dimana kerja tahun
di desa Singa setelah tahun 80-an hanya dilakukan sekali dalam setahun melihat
faktor ekonomi masyarakat. Sehingga kerja tahun telah ditetapkan akan selalu
dibuat pada bulan ketiga dan pada minggu terakhir, dan hal ini tidak akan
berubah karena telah disepakati oleh orang-orang desa sebelumnya. Jadi
masyarakat desa Singa tidak perlu lagi untuk diberitahukan akan waktu perayaan
kerja tahun karena semua penduduknya telah tahu bahwa waktunya tidak pernah
berubah dari dulu sampai sekarang dan hal ini jugalah yang membedakan kerja
tahun desa Singa dengan desa lainnya walaupun ada juga yang sama seperti itu.
Selain perbedaan karena masalah waktunya, yang membedakan kerja tahun desa Singa dengan desa lainnya dapat terlihat
pada jenis makanan yang ditawarkan pada acara. Dimana pada desa Singa, sangat
banyak jenis makanan yang ditawarkan saat acara, berupa berbagai jenis cimpa
(makanan khas Karo), lemang, tape, dan lainnya. Sedangkan desa lain hanya
menawarkan beberapa jenis makanan tersebut saja.
Untuk persiapan
acara kerja tahun itu sendiri, telah memiliki jadwal tersendiri dalam
masyarakat. Dimana pada hari jumat malam, ibu-ibu membuat tape agar pada hari
kerja tahun bisa masak. Di hari sabtu pagi, para bapak-bapak dan anak-mudanya
rame-rame memotong lembu (bante) untuk lauk di hari kerja tahun. Dan pada jam
12 ke ataslah biasanya tamu mulai datang ke rumah hingga pada minggu sore. Pada
malam minggu, acara hiburan dapat terlihat di jambur desa, dimana hiburan itu
berupa gendang yang seluruhnya di atur oleh pemuda dan pemudi di desa ini. Pada
malam minggu ini, para orang tua tidak dapat keluar menikmati gendang karena
masih sibuk dirumah untuk melayani tamu, dan jika ada dana yang sia maka akan
dibuat gendang di malam senin yang khusus pada orang tua. Namun itu tergantung
dana panitia gendang itu sendiri.
Untuk
hal untung dan ruginya dalam melaksanakan kerja tahun, Ferdinan Purba
mengatakan bahwa kerja tahun itu tidak mengenal rugi walaupun telah memberi
makan banyak orang bahkan membuat acara yang sangat megah untuk orang tanpa ada
balasan materi yang diterima. Bahkan orang yang tidak dikenal sekalipun jika
datang kerumah harus diberi makan. Beliau mengatakan bahwa, semakin banyak
orang bertamu dan makan dirumah, maka semakin banyak juga rezeki yang akan
didapatkan kelak. Pelayanan untuk tamu pada saat kerja tahun itu harus
diperhatikan karena pasti ada balasan dibalik semua itu.
Untuk
menghilangkan atau meniggalkan kebiasaan seperti ini, tidak satupun yang
berani. Bukan karena ada peraturan tentang itu, melainkan merasa menjadi
kewajiban karena telah diwariskan secara turun temurun. Namun jika terjadi bencana
alam, kerja tahun dapat diundur ke tahun berikutnya. Namun pada umumnya
masyarakat telah yakin bahwa kerja tahun tidak boleh ditinggalkan karena
tradisi seperti ini menciptakan motivasi kerja bagi masyarakat berupa motivasi
akan adanya rezeki yang di dapat. Semakin banyak orang yang kita beri makan
walaupun biayanya besar, maka semakin banyak juga rezeki yang akan kita
dapatkan.
Untuk
motivasi kerja masyarakat desa Singa dalam menjelang kerja tahun juga berubah.
Dimana masyarakat desa singa terlihat sangat antusias dalam mempersiapkan kerja
tahun. Masyarakat desa singa semakin rajin bekerja ke ladang, yang biasanya
hanya bekerja beberapa kali saja seminggu, namun jika hari kerja tahun sudah
dekat, maka kuantitas ke ladangnya semakin banyak. Begitu juga dengan ibu-ibu
yang di rumah bahwa, semua perabotan rumah tangga akan dicuci ke tapin (tempat
pencucian dan mandi umum) agar terlihat bersih dan guna untuk melayani tamu
yang akan datang.
3.
Nama : Ferdinan Ginting
Usia : 40 tahun
Agama : Khatolik
Pekerjaan : Petani
Bapak
tiga orang anak ini merupakan pendatang di desa ini walaupun telah lama tinggal
di desa ini. Bapak ini masih merupakan satu klan marga dengan marga Ginting
asli disana, namun bukan marga Ginting asli desa ini. Dimana bapak ini memiliki
marga Ginting manik yang merupakan masih satu klan dengan marga asli desa ini
yaitu marga Ginting sinusinga.
Menurut bapak ini, pesta tahunan (kerja
tahun) merupakan sarana untuk memungkinkan masyarakat Karo untuk melakukan
perkenalan keluarga-keluarga yang berbentuk ramah-tamah. Dimana keluarga yang jauh bisa
berkumpul bersama keluarga dalam kegiatan pesta tahunan ini. Menurut bapak ini,
budaya kerja tahun merupakan sebuah kebiasaan yang diturunkan secara
turun-temurun yang setiap tahunnya tetap dirayakan dan bukan bentuk
keterpaksaan untuk merayakannya. Dimana masyarakat Karo yang ada di desa singa,
secara sendirinya sadar untuk membuat perayaan pesta tahunan untuk setiap
tahunnya.
Untuk zaman dahulu, kerja tahun menurut
bapak ini masih sangat kental dengan kepercayaan-kepercayaan zaman dahulu
seperti kepercayaan sebelum menanam padi dan sesudah panen. Dimana ritual
selalu dilakukan sebelum menanam padi agar mendapat hasil yang baik untuk
panennya nanti. Sedangkan ritual untuk pasca panen dilakukan untuk mensyukuri
hasil panen yang di dapat, rasa syukur yang sangat besar ini ditujukan kepada
roh nenek moyang yang disebut denga Nini. Namun konsep kerja tahun itu berubah
sesuai dengan semakin majunya zaman, dimana kepercayaan-kepercayaan masa lalu
telah tergeser dengan hadirnya agama-agama pada masyarakat Karo. Begitu juga
bahwa budaya gotong royong yang semakin luntur diakibatkan karena pengaruh
teknologi yang semakin maju, sehingga semua pekerjaan telah dimudahkan.
Ditambah dengan adanya buruh kerja yang dapat dibayar yang berakibat pada
hilangnya budaya gotong royong yang dulu masih sangat kental pada masyarakat Karo.
Perayaan kerja tahun didesa ini juga
telah ditetapkan waktunya, dimana kerja tahun di desa singa dirayakan pada
bulan ketiga untuk minggu yang terakhir. Waktu perayaan ini tetap seperti itu
dari tahun ketahun, dan tidak pernah berubah walaupun hasil panen atau keadaan
ekonomi masyarakat desa menurun. Dulu,
perayaan pesta tahunan dapat dilakukan 1 minggu penuh, dan telah mengalami
perubahan menjadi 3 hari bahkan untuk saat ini terlihat bahwa perayaan itu
hanya maksimal 2 hari, dimana hari pertama adalah hari persiapan dan hari
terakhir merupakan hari hiburan bagi masyarakat desa serta puncak dari
kegiatan.
Dalam hal perayaannya, semua orang yang
berada di desa ini telah merayakan kerja tahun, baik itu pada masyarakat
pendatang. Dimana masyarakat pendatang seperti suku Nias, Jawa, dan suku
lainnya telah melakukan perayaan kerja tahun untuk beberapa tahun terakhir.
Mereka tersadar dan telah mengikuti budaya yang ada di desa ini karena mereka
juga telah menjadi bagian dari masyarakat desa ini sehingga mereka juga telah
menyesuaikan diri dengan budaya yang ada di desa ini.
Untuk akibat dari tidak merayakan pesta
tahunan dengan teliti atau meninggalkan kesakralan pesta tahunan, telah
menimbulkan peristiwa pada 2 tahun lalu. Dimana menurut pengakuan Bapak ini,
pernah terjadi hujan es yang dampaknya sangat jelas bagi masyarakat karena
dapat merusak rumah serta tanaman-tanaman yang ada di desa ini. Dan para tokoh
adat serta orang-orang tua yang ada di desa ini mengatakan bahwa itu merupakan
bentuk kemarahan dari roh nenek moyang karena merasa tidak dihormati lagi.
Dahulu atau tepatnya 2 tahun lalu, pesta tahunan dilakukan atau dibuka setelah
melakukan ritual atau penyembahan pada tempat-tempat khusus. Dimana pada desa
ini, tempat itu berada di bawah jembatan jalan sebelum desa. 2 tahun terakhir
memang perayaan pesta tahunan telah meninggalkan kesakralan sehingga
menimbulkan hujan es, menurut para tokoh adat di desa ini. Dan untuk menebus
kesalahan itu, beberapa orang desa yang percaya dengan mitos itu, melakukan
ritual seperti memberikan persembahan kepada roh nenek moyang itu.
Untuk peran budaya pesta tahunan, bapak
ini mengatakan bahwa peran pesta tahunan dalam membangun etos kerja atau
semangat kerja masyarakat desa singa dapat terlihat berupa semakin tingginya
semangat bekerja masyarakat menjelang kerja tahun yang akan datang. Seminggu
atau bahkan 2 minggu sebelum kerja tahun, masyarakat desa ini terlihat semakin
bersemangat dalam bekerja. Hal ini terlihat pada motivasi masyarakat untuk
memberikan perayaan yang megah pada kerja tahun nanti. Hal lain juga terlihat
seperti semangat ibu-ibu rumah tangga serta anak gadis desa untuk membersihkan
rumahnya serta perabotan rumah tangga. Dimana hal ini tidak akan pernah
terlihat jika bukan pada masa menjelang kerja tahun.
4. Nama : T. Simanjuntak (50 tahun) Dan P.
Bangun (42 tahun)
Pekerjaan : TNI dan Wiraswasta.
Kedua
informan tersebut diwawancarai pada saat yang sama di kedai kopi. Mereka
menjelaskan bahwa pesta tahunan merupakan suatu tradisi ucapan syukur ataupun
momen berkumpul bersama keluarga. Pesta tahunan biasanya dilaksanakan setelah
siap panen, dan pesta tahunan di desa Singa dilaksanakan setiap minggu akhir
bulan Maret. Menurut penjelasan informan sebenarnya tidak ada masyarakat yang
tidak ikut dalam merayakan pesta tahunan kecuali jika mereka sedang mengalami
kemalangan (rendem). Secara pribadi T. Simanjuntak dan P.Bangun sama-sama
pernah mengalami kendala dalam ekonomi untuk mempersiapkan kebutuhan pesta
tahunan. Dan solusi dari hal tersebut ialah mereka menambah pekerjaan mereka
seperti lebih giat bekerja ke ladang, menanam tanaman yang dapat digunakan
untuk bumbu masakan seperti bawang, cabe, lengkuas, kunyit, sere, tomat, jahe
untuk meringankan beban ekonomi dalam mencukupi kebutuhan dapur.
Selain itu, mereka beserta masyarakat yang lainnya
sama-sama semakin terlihat sibuk dalam bekerja, yang biasanya bekerja 4 hari
dalam seminggu, namun ketika menjelang pesta tahunan, hampir setiap hari mereka
ke ladang.banyak perubahan yang ada dalam masyarakat dalam mempersiapkan pesta
tahunan, seperti membersihkan rumah, membersihkan alat-alat dapur (piring,
panci, gelas, sendok, dan lain-lain), mengecat rumah, dan tidak lupa untuk
mengundang para kerabat. Pada momen pesta tahunan, akan banyak sekali keluarga
atau orang yang datang untuk makan ke rumah, dan itu harus dilayani sekalipun
orang tersebut tidak dikenal sama sekali. Inilah yang menjadi ciri khas dari
masyarakat Karo, di mana dalam prinsipnya semakin banyak tamu yang datang, maka
semakin banyak ejeki yang akan diterima oleh tuan rumah. Pelaksanaan pesta
tahunan digerakkan oleh karang taruna, dan hal inilah yang membedakan dengan
pesta tahunan sebelumnya. Dahulu pesta tahunan digerakkan oleh kaum orang tua,
baik dalam pencarian dana maupun persiapan acara, setiap rumah tangga dikenakan
biaya partisipasi namun sekarang karangtarunalah yang berperan didalamnya,
mereka bekerja mempersiapkan dana dan acara.
Dijelaskan juga bahwa di desa Singa, dalam pelaksanaan
pesta tahunannya dibagi menjadi dua tempat, yaitu kesain Durian dan kesain
rumah Nangka. Sehingga dalam pelaksanaan pesta tahunan pun muda-mudinya ikut
terbagi dua kelompok, yang tinggal di sekitar kesain durian akan melaksanakan
pesta tahunan di kesain Durian, dan begitu juga dengan muda-mudi kesain rumah
Nangka. Meskipun terdapat dua acara hiburan di desa tersebut, tetapi
penontonnya bisa menikmati hiburan di mana saja, dan dalam mempersiapkan dana
untuk pesta tahunan pun mereka bergerak masing-masing meskipun mereka berada di
satu desa yang sama. Selain acara hiburan, di rumah masyarakat pun terdapat
banyak hidangan makanan seperti, terites, rendang, cimpa, cipera, acar. Setelah
acara pesta tahunan selesai, maka masyarakat secara bersama-sama pergi mandi ke
air panas untuk melepas semua kelelahan yang mereka alami ketika acara pesta
tahunan.
5.
Nama :
Berman Sembiring (70 tahun) salah satu pengetua adat, Charles Tarigan (40 tahun), Bapak Angel Ginting (43 tahun).
Pekerjaan :
ketiganya adalah Petani.
Kami mewawancarai mereka di warung kopi secara bersamaan.
Mereka menjelaskan bahwa kerja tahun itu merupakan momen berkumpulnya kita
dengan keluarga (mburo ate tedeh),
saling bersilaturahmi atau disebut juga dengan pesta panen. Pesta
tahunan merupakan suatu kekayaan budaya masyarakat Karo yang hingga saat ini
kerap dilaksanakan. Dan perayaannya dilakukan sekali setahun, maka dari itu,
masyarakat akan merayakannya secara besar-besaran. Pada momen pesta tahunan
inilah, masyarakat menunjukkan hasil dari kerja kerasnya selama setahun
belakangan. Hasil kerjakerasnya tersebut digunakan untuk biaya pelaksanaan
pesta tahunan. Oleh karena itu, mendengar pesta tahunan sudah dekat, maka
masyarakat pun semakin ambisius dalam bekerja, karena takut tidak memiliki
biaya untuk memenuhi kebutuhan dalam pelaksanaan pesta tahunan tersebut.
Informan kami menjelaskan bahwa solusi yang digunakan
ketika mengalami kesulitan ekonomi adalah menjual hasil tanaman mereka ke pajak
Singa. Untuk itu, menjelang pesta tahunan pun masyarakat sudah bersemangat
dalam menanam tanaman seluas-luasnya untuk memperoleh hasil yang banyka juga
dan digunakan untuk biaya pesta tahunan tersebut. Namun di satu sisi, mereka
menjelaskan bahwa tidak usah takut ketika tidak memiliki uang pada saat pesta
tahunan, karena untuk seluruh bahan persiapan bisa dibayar setelah pesta
tahunan. Setelah pesta tahunan selesai, maka kerabat-kerabat pun akan kembali
ke tempatnya masing-masin, dan ketika mereka berangkat meninggalkan keluarga,
biasanya mereka memberikan sedikit uang atau pun salam tempel kepada keluarga
yang melaksanakan pesta tahunan.
Adapun persiapan yang dilakukan oleh masyarakat untuk
menyambut pesta tahunan adalah membersihkan rumah secara keseluruhan,
mengundang kerabat, dan bagi masyarakat yang sedang memiliki pekerjaan di
ladang menjelang pesta tahunan, maka mereka akan berusaha untuk lebih cepat
lagi menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan mereka tersebut, agar mereka tidak
terhalang dalam melaksanakan pesta tahunan. Dan bagi masyarakat yang bekerja
sebagai upahan (aron), akan semakin giat mencari ladang untuk dapat dikerjakan,
di mana semakin banyak ladang yang dikerjakan akan meningkatkan pemasukan
mereka dengan tujuan memperoleh hasil upahan yang nantinya bisa memenuhi
kebutuhan pesta tahunan.
6.
Nama : Mbayak Purba (50 tahun), Aldi Ginting (40
tahun), Bapak Ica Sinulingga (45 tahun), Bapak Eza Tarigan (33 tahun), Patriot
Purba (31 tahun)
Pekerjaan :
Semuanya bekerja sebagai Petani
Patriot Purba merupakan salah satu panitia dari
pelaksanaan pesta tahunan. Menurut mereka, pesta tahunan meruapakan suatu
tradisi ucapan syukur bagi masyarakat Karo terhadap hasil panen, momen
pertemuan dengan keluarga. Persiapan pesta tahunan di desa Singa dikerjakan oleh
karang taruna, baik dalam mempersiapkan dana dan mempersiapkan acara. Menurut
mereka, pesta tahunan ini sangat mempengaruhi semangat kerja masyarakat Singa,
contohnya semakin giat dalam bertani. Dan bagi masyarakat yang memiliki usaha
perdagangan seperti, penjualan pupuk dan bibit-bibit tanaman, yang
berwiraswasta membuka warung kopi, rumah makan dan usaha yang lainnya akan
menambah jam kerja mereka, ada yang menambah jam kerja karyawannya, dan ada
yang menambah jenis jualannya. Semua itu, dipengaruhi oleh pesta tahunan,
masyarakat mempersiapkan dana dan juga waktu yang kosong demi melaksanakan
pesta tahunan.
Pelaksanaan pesta tahunan di desa Singa biasanya diadakan
pada minggu akhir bulan Maret, di mana saat itu telah selesai panen. Adapun persiapan yang dilakukan oleh
masyarakat Singa dalam melaksanakan pesta tahunan adalah aktivitas membersihkan
rumah dan halamannya, membersihkan perabot-perabot, menjemur kasur,
mempersiapkan bahan makanan, dan tidak lupa untuk mengundang sanak saudara.
Sepengetahuan mereka selama ini, tidak ada masyarakat yang tidak ikut dalam
merayakan pesta tahunan karen ketika menjelang acara pesta tahunan masyarakat
itu sendiri jauh-jauh hari sudah mempersiapkan kebutuhan dalam melaksanakan
pesta dengan matang. Biasanya dalam mempersiapkan pesta tahunan, terdapat juga
kerjasama dalam masyarakat misalnya, bersama-sama menyembelih lembu untuk
dijadikan sebagai lauk dalam pesta tahunan, dan lembu tersebut dibeli
bersama-sama. Yang berperan di pesta tahunan ini adalah seluruh masyarakat
desa, aturan yang terdapat di desa Singa pada saat pesta tahunan adalah setiap
masyarakat dilarang untuk ke ladang.
Tidak terdapat faktor penghambat untuk melaksanakan pesta
tahunan. Ketika ekonomi baik, maka semuanya akan berjalan dengan baik. Tidak terdapat
keunikan dalam pelaksanaan pesta tahunan di desa Singa dibanding desa lainnya,
karena secara garis besar dalam melaksanakan pesta tahunan sama saja yaitu
memberi makan setiap orang. Perubahan pelaksanaan pesta tahunan di desa Singa
memiliki perubahan di bagian peran, di mana sebelumnya orang tua saja yang
berperan dan karang taruna hanya membantu orangtuanya di rumah dan menjadi
hiburan pada saat menampilkan tarian tradisional, namun sekarang karang taruna
itu mendominasi dalam mempersiapkan pesta tahunan.
7.
Nama : Bapak Nita Perangin-angin (59 tahun),
Bapak Sabar Menanti Ginting (74 tahun), Bapak Marlena Ginting (70 tahun).
Mereka menjelaskan bahwa pesta tahunan merupakan momen
melepas rindu dengan keluarga, dan bukan merupak suatu pemborosan. Pesta
tahunan tersebut menjadi suatu motivasi kerja bagi masyarakat desa untuk dapat
bertemu dan berkumpul kembali di acara pesta tahunan berikutnya. Pesta tahunan
itu jelas mempengaruhi kesibukan masyarakat, seperti memenuhi kebutuhan untuk
pesta tahunan, maka dari itu mereka semakin giat dalam bekerja. Secara pribadi,
mereka tidak pernah takut tidak memiliki dana untuk melaksanakan pesta tahunan,
karena mereka memiliki banyak anak yang sudah bekerja dan yang pastinya akan
mendanai biaya untuk pesta tahunan. Dalam pelaksanaan pesta, semua masyarakat
ikut berpartisipasi, dan persiapan masyarakat diusahakan sebaik mungkin
termasuk dalam mempersiapkan kebersihan
rumah, menyuci selimut, tikar, perabotan, mempersiapkan bahan makanan
yang diperlukan, mengambil daun untuk membungkus cimpa yaitu daun singkut,
mengundang para kerabat dalam usaha memeriahkan acara pesta tahunan.
Terdapat perbedaan pesta tahunan dulu dengan sekarang,
dulu sebelum pesta tahunan saja, masyarakat sudah sangat repot mempersiapkan
pesta tahunan tersebut, namun sekarang tiga hari sebelum pesta tahunan pun
lingkungan radesa Singa pun terasa sepi. Pada tahun1940, pelaksanaan pesta
tahunan di desa Singa diawali dengan mengambil jangkrik (cikurung) untuk
digunakan sebagai sayur. Namun, sekarang sayur yang digunakan untuk pesta
tahunan sudah lebih modern, seperti lembu, babi, dan ayam, cimpa tetap
digunakan sebagai makanan khas dalam pesta tahunan hingga sekarang. Pengakuan
dari informan kami ini, untuk persiapan pesta tahunan di desa Singa terkhusus
karang taruna tidak ada lagi latihan menari (tere-teren), dan sebagian penari
disewa dari kampung lain karena anak gadis yang ada di desa Singa itu terbatas,
karena banyak yang sekolah ke luar. Ekonomi tidaklah menjadi suatu masalah,
karena ketika tidak memiliki uang bisa meminjam kepada kerabat lain, ketik uang
tidak banyak berarti sayur yang dibeli pun dibatasi.
Dan sebenarnya pelaksanaan gotong royong pun tidak ada
lagi, karena kepala desa sudah menyewa orang untuk membersihkan lingkungan desa
termasuk jalan masuk ke desa dan jalan menuju sungai. Pesta tahunan tetap
dipertahankan agar hasil panen tahun berikutnya pun semakin banyak, karena
dalam pandangan masyarakat Karo , semakin banyak tamu yang datang ke rumah maka
semakin banyak juga rejeki yang diterimanya. Tidak terdapat keunikan pesta
tahunan di desa Singa dibanding desa lain, karena sama saja dalam pesta tahunan
pasti ada acara gendang dan memberi makan banyak orang, semua masyarakat
berpartisipasi dalam memeriahkan acara pesta, untuk tetap menjaga dan
mempertahankan suatu budaya yang mencirikan sebagai masyarakat Karo.
8.
Nama :
Ramenta Br Purba
Usia : 42 tahun
Pekerjaan : Petani
Ibu 4 anak ini mengatakan bahwa kerja tahun
sangat meriah, namun membutuhkan banyak biaya. Secara ekonomisnya ibu ini
mengatakan bahwa kerja thun itu merupakan kebiasaan yang merugikan, dimana pada
saat pelaksanaannya harus mempersiapkan makanan serta kebutuhan lainnya.
Namun walaupun
demikian, ibu ini tidak pernah tidak melaksanakan kerja tahun karena dia
mengatakan bahwa kerja tahun ini merupakan budaya yang diturunkan secara
turun-temurun dan telah menjadi kebiasaan yang wajib di laksanakan untuk setiap
tahunnya. Budaya seperti ini tetap dilaksanakan karena melihat adanya
kepercayaan untuk menambah rezeki. Jadi dapat memotivasi masyarakat untuk
memberikan yang terbaik untuk melaksanakan kerja tahun.
Untuk kepedulian
masyarakat desa ini terhadap kerja tahun dapat terlihat pada persiapan yang
mereka lakukan menjelang kerja tahun. Dimana seminggu sebelum kerja tahun dilaksanakan,
masyarakat desa telah sibuk dengan aktiviastnya msing-masing. Bapak-bapak dan
anak-anak muda yang biasanya kumpul-kumpul di kedai kopi telah jarang terlihat
karena sibuk pergi kerja ke ladang. Bahkan ibu-ibu yang biasanya suka ngerumpi
telah sibuk ngurus rumah. Untuk ibu-ibu yang biasanya pergi kerja ke ladang
telag ga ke ldanga lagi karena terlalu sibuk mengurus pekerjaan rumah mereka.
Jam kerja mereka juga bertambah banyak demi memberikan yang terbaik dalam kerja
tahun. Rumah yang biasanya terlihat berantakan, akan terlihat sangat rapi dan
bersih ketika menjelang kerja tahun.
9. Nama : Apriana Br Karo
Usia : 21 tahun
Pekerjaan : karyawan swasta
Menurut Apriana, kerja tahun itu berupa
hiburan bagi masyarakat desa Singa karena terdapat pertunjukan gendang yang
memungkinkan pada anak muda untuk saling berkenalan. Dimana anak muda dari desa
lain datang ke Singa untuk ikut dalam acara itu. Dan akan ada kesempatan untuk
menari bersama walaupun belum kenal sebelumnya. Kerja tahun inilah yang menjadi
sarana untuk mendapatkan jodoh bagi anak muda.
Kebiasaan seperti ini sangat perlu
dipertahankan karena dapat mengajarkan anak-anak muda untuk lebih tahu akan
adat-istiadat Karo. Melalui kerja tahun inilah masyarakat Karo dapat
melaksanakan kegiatan-kegiatan berupa tarian Karo, musik Karo, serta belajar
tentang adat yang mungkin mulai luntur dalam masyarakat.
4.3
BUDAYA KERJA TAHUN MENURUT PANDANGAN MASYARAKAT
Kerja Tahun atau
pesta tahunan adalah salah satu budaya objektif dalam budaya suku Karo. Kerja
Tahun diadakan dalam rangka mengucap syukur atas hasil panen dan warga kampung
dalam keadaan sehat; juga untuk mendoakan panen pada tahun berikutnya, supaya
hasilnya lebih memuaskan. Selain itu Kerja Tahun termasuk juga sarana untuk
mempererat tali kekeluargaan, karena pada saat itu keluarga dan sanak famili di
luar suatu kampung diundang. Secara tidak langsung Kerja Tahun berperan juga
untuk mempertemukan golongan muda-mudi. Di sana mereka dapat berkenalan satu
sama lainnya, dan bahkan ada yang sampai tahap pernikahan. Pada umumnya Kerja
Tahun diadakan di setiap kampung, tetapi waktunya tidak diadakan secara
bersamaan.
Istilah Kerja tahun berbeda-beda di seluruh wilayah
Tanah Karo. Perbedaan istilah ini tergantung pada daerahnya. Ada empat istilah
yang digunakan untuk menyebut Kerja Tahun, yaitu: Mahpah, Nimpa Bunga benih,
Merdang Merdem, dan Ngerires. Pemaparannya sbb.:
Pertama, mahpah. Mahpah berasal dari kata pah-pah,
artinya penyet. Pah-pah itu sendiri dibuat dari padi yang telah direbus dan
kemudian dikeringkan. Selanjutnya padi yang telah dikeringkan itu digongseng
dan ditumbuk sampai penyet. Bentuk pah-pah setelah dibersihkan dengan tampah
mirip nasi yang penyet dan keras. Cara menghidangkannya ialah dengan
merendamnya dengan air panas sebentar kemudian dicampur dengan kelapa muda
parut dan tengguli (gula aren).
Kedua, nimpa bunga benih. Bunga benih adalah sisa
benih. Sisa bunga benih ini dibuat atau dikelola menjadi cimpa. Cimpa adalah
makanan khas dalam rangkaian Kerja Tahun. Selain cimpa, untuk lauknya diadakan
pula pemotongan kerbau atau lembu.
Ketiga, Merdang
merdem. Pesta tahunan merdang merdem hampir sama dengan paraktik pesta tahunan
nimpa bunga benih.
Kerja Tahun mempunyai dimensi religi, seni dan sosial.
Dimensi-dimensi ini sangat erat berkaitan dengan Kerja Tahun. Karena begitu
eratnya kaitan antara dimensi-dimensi ini dengan Kerja Tahun, maka boleh
dikatakan bahwa Kerja Tahun tidak dapat ada bila dimensi-dimensi tersebut tidak
ada. Kerja Tahun adalah aktualisasi dari dimensi religi, seni dan sosial.
Pertama,
dimensi religi. Orang Karo sudah mengenal atau percaya bahwa adanya Dibata
(Tuhan) sebagai Maha Pencipta segala sesuatu yang ada di alam raya dan dunia
jauh sebelum agama-agama monoteis masuk ke Tanah Karo. Menurut kepercayaan
tersebut Dibata yang menguasai segalanya itu terdiri dari Dibata Idatas atau
Guru Butara Atas yang menguasai alam raya/langit, Dibata Itengah atau Tuan
Paduka Niaji yang menguasai bumi atau dunia dan Dibata Iteruh atau Tuan Banua
Koling yang menguasai di bawah atau di dalam bumi. Dibata ini disembah agar manusia mendapatkan
keselamatan, jauh dari marabahaya dan mendapatkan kelimpahan rezeki. Karena itu
masyarakat yang mempunyai kepercayaan demikian melakukan berbagai variasi untuk
melakukan penyembahan. Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa Kerja Tahun
pertama-tama merupakan upacara adat Karo untuk bersyukur kepada Dibata atas
hasil panen dan sekaligus mendoakan supaya haril panen berikutnya semakin lebih
baik. Maka jelaslah bahwa aspek religi ini teraktualisasi dalam Kerja Tahun
atau Pesta Tahunan.
Kedua, dimensi seni. Pada saat Kerja Tahun, selalu
diadakan hiburan dengan menampilkan seni tari dan seni suara. Istilah untuk
acara ini adalah guro-guro aron. Pada saat Kerja Tahun diundang penyanyi
tradisinal yang dikenal dengan itilah perkolong-kolong. Perkolong-kolong ini
akan menari dan menyanyi untuk menghibur masyarakat dan memeriahkan pesta.
Acara tampil perkong-kolong ini akan diselingi dengan tarian dan nyanyian
muda-mudi setempat. Dalam kerja Tahunlah aspek seni Suku Karo teraktualisasi
dan mendapatkan tempat.
Ketiga,
dimensi sosial. Pada saat Kerja Tahun, sanak famili dari tempat-tempat jauh
diundang oleh pihak keluarga yang kampungnya merayakan Kerja Tahun. Pada saat itulah mereka merekatkan kembali hubungan
kekeluargaan bila sebelumnya ada konflik. Bukan hanya sebatas itu saja, Kerja
Tahun justru semakin memperkuat identitas mereka sebagai satu keluarga (marga).
Setiap
acara merdang merdem (kerja tahun) biasanya dimeriahkan dengan gendang
guro-guro aron yaitu acara tari tradisional Karo yang melibatkan pasangan
muda-mudi. Setiap kecamatan di Tanah Karo merayakan merdang merdem pada bulan
yang berbeda.
•
Hari pertama, cikor-kor.
Hari
tersebut merupakan bagian awal dari persiapan menyambut merdang merdem yang
ditandai dengan kegiatan mencari kor-kor, sejenis serangga
yang biasanya ada di dalam tanah. Umumnya lokasinya di bawah
pepohonan. Pada hari itu semua penduduk pergi ke ladang untuk mencari
kor-kor untuk dijadikan lauk makanan pada hari itu.
•
Hari kedua, cikurung.
Seperti
halnya pada hari pertama hari kedua ditandai dengan kegiatan mencari kurung di
ladang atau sawah. Kurung adalah binatang yang hidup di tanah
basah atau sawah, biasa dijadikan lauk oleh masyarakat Karo
•
Hari ketiga, ndurung.
Hari
ketiga ditandai dengan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk ikan,
di sawah atau sungai. Pada hari itu penduduk satu kampung makan dengan
lauk ikan. Ikan yang ditangkap biasanya nurung mas, lele yang biasa
disebut sebakut, kaperas, belut.
•
Hari keempat, mantem atau motong.
Hari
tersebut adalah sehari menjelang hari perayaan puncak. Pada hari
itu penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan
lauk.
•
Hari kelima, matana.
Matana
artinya hari puncak perayaan. Pada hari itu, semua penduduk
saling mengunjungi kerabatnya. Setiap kali berkunjung semua
menu yang sudah dikumpulkan semenjak hari cikor-kor, cikurung,
ndurung, dan mantem dihidangkan. Pada saat tersebut semua penduduk
bergembira. Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga
telah selesaidilaksanakan. Pusat perayaan biasanya di alun-alun atau biasa
disebut los, semacam balai tempat perayaan pesta. Acara disitu
dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron dimana muda-mudi yang sudah
dihias dengan pakaian adat melakukan tari tradisional. Perayaan
tidak hanya dirayakan oleh penduduk kampung tetapi juga kerabat dari luar
kampung ikut diundang menambah suasana semakin semarak. Pada hari itu
pekerjaan paling berat adalah makan. Karena setiap kali berkunjung ke
rumah kerabat aturannya wajib makan.
•
Hari keenam, nimpa.
Hari
itu ditandai dengan kegiatan membuat cimpa, makanan khas Karo,
biasa disebut lepat. Cimpa bahan dasarnya adalah tepung terigu, gula
merah, dan kelapa parut. Cimpa tesebut biasanya selain untuk
hidangan tambahan setelah makan. Tidak lengkap rasanya merdang
merdem tanpa kehadiran cimpa Untuk
kecamatan lain di Tanah Karo kegiatan nimpa diganti dengan ngerires yaitu
acara membuat rires yang dalam bahasa indonesia disebut lemang.Cimpa atau
lemang daya tahannya cukup lama, masih baik untuk dimakan meski
sudah dua hari lamanya. Oleh karena itu cimpa atau rires cocok untuk
dijadikan oleh-oleh bagi tamu ketika pulang.
•
Hari ketujuh, rebu.
Hari tersebut merupakan hari terakhir dari
serangkaian pesta enam hari sebelumnya. Pada hari tersebut tidak ada
kegiatan yang dilakukan. Tamu-tamu sudah kembali ke tempat asalnya. Semua
penduduk berdiam di rumah. Acara kunjung-mengunjungi telah selesai. Pergi
ke sawah atau ladang juga dilarang pada hari itu. Seperti halnya arti rebu
itu sendiri yang artinya tidak saling menegur, hari itu adalah hari
penenangan diri setelah selama enam hari berpesta. Beragam kesan tinggal
melekat dalam hati masing-masing penduduk kampung. Hari besok telah
menanti untuk kembali melakukan aktifitas sebagaimana hari-hari
biasanya
Kerja
tahun menurut sebagian besar masyarakat desa Singa adalah merupakan bentuk
ramah tamah yang dilakukan oleh masyarakat Karo. Namun menurut Pak Awaludin,
kerja tahun memiliki makna yang sangat dalam, dimana dia mengatakan bahwa kerja
tahun merupakan bentuk sedekah tanpa pamrih yang dilakukan oleh masyarakat desa
Singa. Dimana beliau mengatakan bahwa kerja tahun itu selain merupakan bentuk
pujian syukur terhadap yang maha kuasa, namun kerja tahun juga bermakna harapan
untuk mendapat rejeki dari usaha yang diberikan pada kerja tahun. Dimana tamu
yang datang akan diberi makan tanpa adanya diminta biaya, semua iklhas
dilakukan oleh orang yang meraykannya.
4.4
NILAI-NILAI YANG TERDAPAT PADA BUDAYA KERJA TAHUN SAAT INI
Walaupun telah mengalami banyak
perubahan seiring berkembangnya zaman dan semakin majunya teknologi. Namun
masih terdapat beberapa nilai yang masih terjaga dalam perayaan kerja tahun di
Desa Singa. Dimana nilai kebaikan dan kesukarelaan yang terlihat dalam bentuk
sedekah. Masyarakat desa Singa yang merayakan kerja tahun masih sangat percaya
akan nilai tersebut, dimana penduduk desa ini rela memberi makan dan melayani
semua tamu yang datang karena ada harapan rezeki yang di dapatkan untuk
kedepannya. Seperti yang dikatakan oleh Pak Awaludin Sitepu (51 tahun), beliau
mengatakan bahwa kerja tahun merupakan bentuk sedekah tanpa pamrih yang
dilakukan oleh masyarakat Karo terkhusus pada masyarakat desa Singa. Dimana ada
makna tersembunyi yang tidak disadari oleh masyarakat Karo ketika mereka
melaksanakan kerja tahun. Mereka memberi makan semua tamu yang datang tanpa
terkecuali dan melayani mereka dengan baik, dimana mereka tidak mengharapkan
imbalan secara langsung, namun mereka yakin akan ada rezeki yang mereka
dapatkan kelak nanti.
Menurut beliau, bersedekah tanpa
pamrih itu sangat luar biasa maknanya bagi masyarakat. Karena mereka tidak
sadar telah melakukan sedekah dengan memberi makan semua orang yang datang ke
rumah. Tanpa mempedulikan biaya yang mereka keluarkan sebelumnya untuk
mempersiapkan acara kerja tahun.
“anak
kuta e la sadar adi lit makna la idah bas kerja tahun e, ibere kerina kalak man
si reh ku rumah, amin pe si la itandaina. Si reh e pe labo mere kai pe bas
kerja e amin pe ia nggo ibere man. Empu rumah e pe labo kai pe i arapkenna arah
temu e”
Artinya:
“penduduk
desa ini tidak sadar adanya makna yang tidak terlihat dari kerja tahun ini,
diberi makan semua orang yang datang kerumah alaupun tidak dikenal. Yang datang
tidak memberi apapun walaupun di acara dia telah diberi makan. Yang punya rumah
pun tidak mengharapkan apa-apa dari tamu itu”
Nilai ramah-tamah juga dapat
terlihat dengan adanya perayaan kerja tahun ini, dimana seperti yang diakatakan
oleh beberapa informan bahwa kerja tahun berfungsi untuk mempertemukan keluarga
yang mungkin tidak bisa bertemu jika tidak melalui acara kerja tahun ini.
Seperti yang dikatakan oleh pak Ferdinan Ginting (40 tahun).
“kade-kade
sindauh pe reh kerina bas kerja e, perban kerja tahun e sekali setahun ngenca
irayaken”
Artinya:
“sanak
saudara yang berada di tempat jauhpun akan datang pada acara kerja tahun ini,
karena acara ini hanya di laksanakan sekali dalam setahun”
Nilai gotong royong juga masih
terdapat dalam pelaksanaan kerja tahun ini, walaupun sudah banyak berubah
dibanding sebelumnya pada zaman dahulu. Nilai gotong royong telah banyak pudar
di dalam masyarakat. Hanya dalam kegiatan tertentu saja nilai gotong royong
dapat terlihat. Misalnya pada masa menjelang pelaksanaan kerja tahun, dimana
pada masa persiapan itu ada yang dinamakan mantem atau bante ( memotong lembu
untuk lauk masyarakat). Dalam bante ini, masyarakat melakukannya bersama-sama,
biasanya dilakukan oleh pihak laki-laki baik bapak-bapak dan anak mudanya.
Selepas kerja tahun, nilai gotong
royong juga masih bisa terlihat seperti halnya pada ada keluarga yang berduka.
Sehingga masyarakat desa membantu keluarga itu dalam mengerjakan ladang yang
sedang berduka. Seperti yang dikatakan oleh pak Firman Purba (60 tahun).
“adi
lit salah sada anak kuta e si ceda ate, maka kami anak kuta e radu-radu
nampatisa. E banci si sampati ndahiken jumana asa dung”
Artinya:
“jika
ada salah satu orang desa ini yang berduka, maka kami orang desa ini akan
bersama-sama membantunya. Itu bisa kita bantu dengan mengerjakan ladangnya
sampai selesai”.
4.5
SOLIDARITAS YANG TERBENTUK DARI BUDAYA KERJA TAHUN
Terbentuk sebuah solidaritas dari
pelaksanaan kerja tahun pada masyarakat Karo terutama bisa dilihat pada
penduduk desa Singa. Dimana solidaritas yang terbentuk dapat berbentuk
solidaritas mekanik atau gemeinschaft. Bentuk gemeinschaft akan dapat dijumpai
didalam keluarga, kelompok kekerabatan, rukun tetangga dan lain sebagainya.
Solidaritas mekanik yang terbentuk dalam hubungan masyarakat ini menunjukkan
ikatan yang tebentuk akibat adanya ikatan batin yang bersifat alamiah dan masih
dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisional.
Dalam hal ini budaya kerja tahun
dapat mempersatukan masyarakat desa Singa. Dimana masyarakat desa singa sadar
dan membentuk suatu ikatan yang didasari oleh ikatan batin dan nilai kerja
tahun itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat pada kesepakatan masyarakat desa
Singa untuk tetap melaksanakan budaya kerja tahun untuk setiap tahunnya, dan
merasa bahwa acara kerja tahun itu merupakan acara bersama dan kewajiban
bersama untuk melaksanakannya.
Dalam melaksanakan kerja tahun
masyarakat desa singa secara keseluruhan ikut berpartisipasi untuk menjaga
keamanan desa baik dalam masa acara kerja tahun dan untuk masa selanjutnya.
Masyarakat desa ini merasa telah merasa satu keluarga, bahkan terdapat beberapa
bentuk perkumpulan marga (persadan marga) di desa ini seperti halnya persadan
marga Ginting, persadan marga Karo-Karo, dan persadan marga lainnya.
4.6
BUDAYA KERJA TAHUN YANG MEMBANGUN ETOS KERJA MASYARAKAT DESA DAN STRATEGI
EKONOMI
Setelah melakukan penelitian tentang
budaya kerja tahun ke desa Singa, kami melihat bahwa budaya kerja tahun dapat
membangun etos atau semangat kerja masyarakat desa Singa. Dimana hal ini dapat
kita lihat pada motivasi masyarakat Karo di desa Singa untuk mempersiapkan
pelaksanaan kerja tahun. Harapan akan rejeki
dari kesukarelaan dalam melaksanakan kerja tahun membuat masyarakat desa Singa
semakin semangat untuk bekerja. Dengan anggapan atau keyakinan bahwa semakin
banyak tamu yang datang dan makan dirumah, maka semakin besar juga rejeki yang
akan didapatkan. Seperti yang dikatakan oleh Pak Firman Purba (60 tahun).
“labo
masalah piga kalak reh tamu ku rumah enda, kerina sibere man. Perban kita tek,
erbuena kalak reh ras man i rumahta, maka erbuena rejekinta si reh”
Artinya:
“tidak
menjadi masalah berapa orangpun yang datang keruamh ini, semua akan kita beri
makan. Karena kita percaya, semakin banyak tamu datang dan makan di rumah kita,
maka semakin besar rejeki kita nantinya”.
Semangat kerja masyarakat desa Singa
dalam menjelang kerja tahun juga terlihat dengan jam kerja yang ditambah
melebihi biasanya. Kuantitas kerja ditambah untuk mempersiapkan acara yang
sukses di kerja tahun nanti. Hal ini akan terlihat berbeda dari biasanya,
karena semangat kerja masyarakat semakin besar guna mencari keuntungan yang
banyak untuk membiayai semua yang dibutuhkan di saat kerja tahun nanti. Seperti
yang dapat kita terima dari perkataan Pak Ferdinan Ginting (40 tahun).
“biasana
anak kuta e malas ku juma, sope ndeher kerja tahun e, anak kuta e erutusna ku
juma. Sibiasana sekali-sekali ngenca ku juma, pas nggo ndeher mata kerja tahun
e, banci tiap wari ku juma gelah lit sen mbiayai kerja e”
Artinya:
“biasanya
anak desa ini malas ke ladang untuk bekerja, namun ketika sudah dekat acara
kerja tahun, anak desa ini semakin rajin ke ladang untuk bekerja. Yang biasanya
hanya beberapa kali saja ke ldanga, namun ketika sudah dekat acara kerja tahun,
maka anak desa ini bisa tiap hari ke ladang untuk mendapat uang guna pembiayaan
acara nantinya”.
Begitu juga dengan yang dikatakan
oleh Ramenta Br Purba (40 tahun), dia berkat bahwa:
“adi
nggo ndeher mata kerja tahun e, nande-nande si i rumah lalap nggo sibuk ku
tapin nyuci baju, bantal, tilam, kudin, panci, ras mbersihken rumah. Ence
nande-nande si rusur cikurak ntah cakap-cakap saja dahinna i rumah, adi pas
ndeher kerja tahun e, kerina nggo sibuk ndahiken dahinna. Ku juma si kujuma,
bersih-bersih si nggo dung dahin jumana”.
Artinya:
“jika
sudah dekat hari kerja tahunnya, maka ibu-ibu yang biasanya selalu di rumah,
sudah sibuk pergi ke tapin (tempat nyuci umum) untuk mencuci baju,bantal,
tilam, panci, dan membersihkan rumah. Dan ibu-ibu yang sering ngerumpi atau
ngomong-ngomong saja di rumah, di saat acara kerja tahun sudah dekat, mereka
telah sibuk mengerjakan kerjanya. Keladang yang ke ladang dan bersih-bersih
utnuk yang sudah selesai pekerjaannya di ladang.
Semangat kerja atau etos kerja
masyarakat desa Singa juga semakin besar karena dipengaruhi oleh harapan
terhadap kepercayaan akan adanya balasan, walaupun tidak langsung dari kebaikan
yang mereka lakukan dalam memberikan pelayanan terhadap tamu yang datang. Hal
ini berkaitan dengan sedekah tanpa pamrih yang di katakan sebelumnya oleh pak
Awaludin Sitepu. Dimana masyarakat desa yang merayakan kerja tahun, selalu
memberikan semaksimal mungkin apa yang mereka bisa berikan.
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Berikut adalah uraian
dari Bab I sampai dengan Bab IV maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Kerja tahun merupakan suatu bentuk kegitan budaya yang dilaksanakan setiap tahunnnya oleh
masyarakat Karo terutama bagi mereka yang tinggal di desa. Kerja tahun umumnya
dilaksanakan sebagai bentuk ucapan syukur masyarakat atas hasil panen yang
mereka dapatkan selama setahun kepada para leluhur yang berlangsung sudah cukup
lama dan diwariskan secara turun-temurun.
2.
Desa
Singa merupakan salah satu desa di kabupaten Karo yang masih aktif melaksakan
kerja tahun. Dimana sebelum tahun 80-an, kerja tahun di desa
Singa dilakukan sebanyak 2 kali dalam setahun, yaitu pada bulan 3 dan bulan 7. Dimana
pada bulan 3 merupakan masa panen, dan kerja tahun ini dilaksanakan untuk
mengucapkan rasa syukur atas rezeki yang di dapat dari hasil panen. Sedangkan
pada bulan 7 adalah pada masa menanam, kerja tahun dilaksanakan guna
mengharapkan tanaman itu akan bertumbuh dengan baik dan mendapat hasil yang
baik juga. Namun hal ini telah berubah, dimana kerja tahun di desa Singa
setelah tahun 80-an hanya dilakukan sekali dalam setahun melihat faktor ekonomi
masyarakat. Sehingga kerja tahun telah ditetapkan akan selalu dibuat pada bulan
ketiga dan pada minggu terakhir, dan hal ini tidak akan berubah karena telah
disepakati oleh orang-orang desa sebelumnya.
3.
Masyarakat desa Singa mamaknai kerja tahun sebagai
bentuk sedekah yang mereka lakukan tanpa disadari dan tanpa imbalan kepada
setiap orang tanpa memandang asal usul mereka baik yang sudah dikenal maupun
yang tidak. Hal ini telihat dari bentuk kegiatan mereka yang langsung menjamu
setiap tamu yang datang ke rumah mereka dengan makanan tradisional yang telah
mereka siapkan sebelumnya. Solidaritas mereka terbentuk dari jamuan makan yang
dihidangkan kepada tamu dan bentuk kegiatan ertutur yang mereka lakukan satu
sama lain untuk saling mengenal satu sama lain dan memperkuat tali
persaudaraan.
4.
Masyarakat desa Singa tidak merasa keberatan dengan
adanya kerja tahun yang mereka lakukan meskipun untuk merayakan kerja tahun
tersebut dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Untuk memenuhi kebutuhan
dana, masyarakat desa Singa melakukan
banyak cara misalnya dengan menambah jam kerjanya ke ladang, menjual hasil
tanaman mereka, dan lain-lain dan bahkan bagi sebagian orang tidak segan-segan
untuk meminjam uang dari tetangga atau dari kerluarga mereka untuk menutupi
kekurangan dana demi tercapainya kerja tahun di desa tersebut.
5.2 SARAN
1. Budaya kerja tahun merupakan kegiatan yang
dilaksanakan oleh masyarakat suku Karo secara turun-temurun. Bentuk kegitan
seperti kerja tahun ini perlu dipertahankan untuk tetap melestarikan kearifan
lokal budaya Karo serta menjaga nilai-nilai yang terdapat didalam kerja tahun
tersebut seperti nilai amal, gotong-royong, solidaritas dan lain-lain.
2. Dengan adanya pesta tahunan, diharapkan kepada
pemerintah khususnya Menteri Kebudayaan dan Pendidikan dapat memberikan
perhatian lebih terhadap kebudayaan Karo sebagai salah satu budaya Indonesia
yang perlu dipertahankan dan dikenal masyarakat luas.
Daftar
Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
1995. Persepsi tentang Etos Kerja
Kaitannya dengan Nilai Budaya Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jakarta: CV Eka Putra.
Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia
Maryati,Kun dan Juju Suryati.2001. Sisiologi untuk SMA dan MA. Jakarta :
Penerbit Erlangga
Prinst, Darwan. 2008. Adat Karo. Medan: Bina Media Perintis.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Suryabrata, Sumadi. 1995. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Suwarsono dan Alvin Y. So. 1994. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia.
Weber, Max. 2002. Studi Komprehensif Sosiologi Kebudayaan. Jogjakarta: IRCiSoD.
http://www.berdikarionline.com/gotong-royong/20110620/kerja-tahun-merdang-merdem-refleksi-prinsip-kedaulatan-pangan.html,
diakses pada tanggal 3 April 2013, pukul 13.45 wib
http://sosiologi.yahubs.com/tag/rasionalitas-instrumental/
diakses pada tanggal 10 April 2013, pukul
15.00 wib
http://www.referensimakalah.com/2012/09/pengertian-etos-kerja.html diakses pada tanggal 3 April 2013 pukul
17.00 wib
lontar.ui.ac.id/file?file=digital/119472...Pendahuluan.pdf
diakses pada
tanggal 10 April 2013 pukul 13.15 wib
Komentar
Posting Komentar