Berjalan
dari Medan ke Dataran Tinggi Karo membutuhkan waktu sekitar dua sampai dua
setengah jam perjalanan. Di sepanjang perjalanan yang terlintas di mata
pemandang adalah hamparan pepohonan hijau dengan bukit (uruk) dan jurang (embang)
sebagai latar belakang pemandangannya. Dalam hijaunya pemandangan tersebut
terselang puluhan desa di pinggir jalan begitu keluar dari Medan sampai ke
Kabanjahe. Dari puluhan desa yang dilalui tersebut tidak ada yang tidak
memiliki kede kopi (kedei kopi). Hal ini sangat menguntungkan bagi pengendara,
terutama sepeda motor atau pengendara lainnya untuk singgah tatkala merasa lelah, macet atau hari hujan di
perjalanan.
Masyarakat
Sumatera Timur (Utara) sebenarnya mengenal kede kopi setelah datangnya Belanda
dan berbagai etnis untuk buruh perkebunan. Tanaman kopi lokal sebenarnya sudah
dikenal dan sikonsumsi sebelum kedatangan Belanda, namun kede diadopsi penduduk Sumatera Timur dari tradisi Eropa, dan
sekarang justru mendarah daging. Susah sekali menemukan desa yang tidak
memiliki kedei kopi di Sumatera Timur. Bahkan, pada tahun 1990-an, banyak kede
kopi sebagai unit usaha koperasi, masyarakat menamai kedei koperasi di Kabupaten Karo. Namun saat ini hanya sedikit kede
kopi yang dikelola koperasi. Sedangkan di daerah lain di Sumatera Timur kedei
kopi diusahai oleh perorangan. Bahkan di Medan, kedei kopi ada yang dikelola
layaknya café ala Eropa yang selain menyajikan minuman tradisional juga minuman
modern sekarang ini. Kopi sidikalang adalah merek dagang kopi yang sempat
popular di masyarakat. Saat ini tanaman kopi hampir menjadi komoditas utama di
berbagai kabupaten kota di Sumatera Utara. Ketika anda berjalan menuju Kota
Kabanjahe atau Berastagi misalnya, anda tidak akan disuguhi lagi dengan
pemandangan kebun jeruk yang dulu menggemparkan melainkan hamparan kebun kopi
yang begitu luas.
Apa
yang menarik dari kedei kopi? Mungkin dalam benak kita, dalam normalnya sebuah
kedei kopi hanyalah tempat beristirahat sejenak untuk minum atau nongkrong.
Tidak demikian di kalangan Suku Karo di pegunungan, kede kopi merupakan pusat
informasi, semua hal berpusat di kedei kopi. Mulai dari kejadian-kejadian di
desa seperti ulasan perkembangan harga
sayur dan buah, ulasan politik nasional seperti membahas partai dan caleg,
sampai ulasan perpolitikan dunia seperti kondisi Timur Tengah saat ini juga
bahan perbincangan di kedei kopi. Kedei kopi juga menjadi tempat favorit bagi
kaum lelaki untuk beberapa aktifitas seperti membaca Koran, karena di desa
Koran hanya ada disana. Kemudian catur, tidak perlu susah mencari lawan untuk
bermain catur, di kede kopilah berkumpulnya para petarung catur. Bahkan, kedei
kopi juga kadang digunakan menjadi tempat bermain judi layaknya atau casino-nya
desa-desa. Terkadang karena keasyikan bercerita atau bermain catur, ada juga
yang seharian sanggup di kedei kopi.
Kede
kopi telah mendarah daging bagi masyarakat Sumatera Timur terutama kaum
laki-lakinya. Seperti halnya mahasiswa di Medan. Kede kopi adalah tempat favorit
untuk mereka sebagai tempat diskusi. Bahkan sebagian kede kopi baik yang
tradisional maupun yang a la café telah memiliki jaringan wifi sehingga banyak
mahasiswa yang betah di kede kopi sekalian menggali informasi dan mengerjakan
tugas kuliah mereka.
Gender
dan Kede Kopi
Kedei
kopi akhrinya menjadi symbol “kelaki-lakian”. Mengapa demikian? Hampir
seluruhnya pengunjung kede kopi adalah laki-laki, namun di beberapa tempat ada
juga perempuan atau ibu-ibu yang memang terbiasa minum atau nongkrong di kede
kopi, itupun pada kedei kopi tersendiri biasanya. Tidak heran di desa-desa ada
laki-laki yang seharian di kede kopi sedangkan yang perempuan mengelola lahan
pertanian. Bahkan di desa-desa banyak ibu-ibu yang merasa gamang masuk ke kede
kopi. Hal ini juga terjadi di kota Medan, susah sekali menemukan perempuan
sebagai pengunjung kedei kopi yang dikelola secara tradisional. Tidak demikian
kedei kopi yang dikelola secara modern seperti café seperti di Jalan Dr Mansyur
masih dapat dijumpai perempuan/mahasiswa yang nongkrong di kede kopi/café.
Komentar
Posting Komentar