Uis Nipes, Sederhana Tapi Bermakna
Gereja Dan Budaya (Part 1)
Oleh Salmen Sembiring
(Sociologist)
Oleh Salmen Sembiring
(Sociologist)
Opini
Sederhana tapi Bermakna
Minggu, 27 Nopember
2013. Pukul Sembilan pagi saya hendak pergi kebaktian minggu di Gereja GBKP KM
7 Medan. Sekitar satu kilometer sebelum tiba di gereja KM 7, saya melihat
rombongan ibu-ibu, dan seorang diantaranya adalan nenek tua yang juga hendak
beribadah di gereja GBKP Pasar 6. Apa yang menarik di benak saya adalah pakaian
yang dikenakan nenek beruban tersebut, dan hanya beliau yang berpakaian
demikian. Dari atas sepeda motor yang melaju lambat saya memandangi nenek tersebut
dengan perlahan, sandal jepit sederhana, sarung (kampuh), kebaya, dan satu uis
nipes yang digantungkan di pundaknya. Sangat sulit ditemukan orang berkostum
demikian dalam ibadah orang GBKP di kota. Apalagi kelompok pemudanya.
Apa yang menarik
menurut saya adalah apa yang disebut dengan memperjuangkan budaya. Saya memang
tidak sempat mewawancarai nenek tersebut mengapa ia berkostum demikian ke rumah
ibadah. Benda budaya ternyata juga dapat mewarnai kekayaan khasanah beribadah
kita. Terlebih saat ini GBKP adalah organisasi Suku Karo terbesar yang
seharusnya bertanggung jawab juga melestarikan budaya Karo. Saya juga mengingat
beberapa tema “gendang IMKA” di Medan selama setahun terakhir selalu mengusung
pemuda dan kaitannya dengan budaya. Namun, selain melakukan “gendang
guro-guro” minim sekali kegiatan mereka
dalam mengembangkan budaya Karo itu sendiri. Gendang gur0-guro hanyalah bagian
kecil, atau satu komponen terkecil dalam budaya Karo yakni music, tari dan suara.
Belum lagi kegiatan tersebut dicekoki teknologi modern sehingga pemuda hanyut
dalam alulan tekonologi tersebut. Mengembangkan budaya sebenarnya tidak sulit
apabila ia hidup dalam setiap diri pengikut budaya tersebut.
Renungkan saja
apa yang dilakukan nenek yang lanjut usia yang telah saya uraikan tersebut.
Bila diasumsikan semua ibu rumah tangga Karo Kristen melakukan hal serupa.
Berapa uis nipes yang dibutuhkan? Dengan kebutuhan uis nipes sedemikian banyak
maka hiduplah ratusan penenun local yang adalah juga saudara kita. Atau secara
tidak sadar kita telah memberi makan keluarga penenun, distributor dan penjual
kain adat. Atau lebih tidak sadar lagi mungkin saja dengan membeli atau memakai
kain adat tersebut kita telah mendukung pendidikan anak-anak perajin local
sampai ke perguruan tinggi. Bukankah itu tujuan diajarkannya kasih? Belum lagi
berbagai karya budaya Karo lainnya yang dapat digunakan dalam beribadah.
Sadarlah!
Ternyata budaya
itu dapat berkembang apabila ia dipasarkan atau bahasa kerennya promo. Apa yang
dilakukan nenek kita tersebut adalah promosi tidak sadar. Bisa anda selidiki
apa yang paling khas dalam ibadah GBKP selain lagu atau bahasa Karo-nya? Tidak
perlu dipikirkan yang penting adalah dilakukan, nenek kita itu telah
melakukannya. Bayangkan setiap minggunya orang lain melihat situasi itu maka
orang akan mendefinisikan bahwa menggantungkan uis nipes adalah bagian dari
ibadah Suku Karo. Sederhana tapi bermakna. Bukankah pemazmur menyatakan:
pujilah Tuhan dengan segalanya!
mantap!
BalasHapus