Desa Betimus Mbaru: Segera Memudarnya Sistem Pertanian Model Hutan

Karo Tracker Community: Edisi Desa Betimus Mbaru, Sibolangit, Taneh Karo Simalem, SUMUT

(Catatan Perjalanan)
Salmen Kembaren 
Sosiolog


             Hari mendung tidak membatasi kami untuk selalu mengkaji kekayaan alam dan budaya Suku Karo. Kali ini tim KTC hendak menelusuri Desa Betimus. Karena waktu yang sangat singkat kami memutuskan untuk mensurvey awal dengan tujuan untuk menelusuri tipe pengelolaan hutan pada Masyarakat Karo. Perjalanan dimulai dari Medan, sekitar pukul 16.00. Kami tiba di Sibolangit (simpang desa tersebut) sekitar pukul 17.00 wib. Jalanan sempit dan sebagian masih berbatu-batu.

Kesejukan udara begitu menyegarkan, tipe pertanian yang mengandalkan pephononan (tanaman keras) membuat seolah hutan tetap terjaga, namun sesungguhnya itu adalah perladangan warga. Tanaman yang paling banyak adalah cokelat, terdapat juga manggis, durian, duku langsat, dan beberapa jenis tanaman buah lainnya. 500 meter kami menemukan jembatan, sempit juga, dan kedalaman tebingnya sekitar 15 atau 20 meter dipenuhi tumbuhan liar dan rimbun. Berjarak 1 km dari simpang terdapat simpang tiga, desa tersebut bernama Puang Aja (Pongaja) saya tidak tahu arti dari kata desa tersebut. Kami memilih jalan yang ke kiri tanpa bertanya kepada orang setempat. Jalanan menanjak rumah-rumah tipe sederhana menjadi pemandangan khas disana. Kami pun tiba didesa, awalnya hendak ingin ke warung kopi namun kami meneruskan perjalanan. Akhirnya kami menemui seorang nenek yang sedang memandikan cucunya di samping rumahnya.
Nenek itu Beru Ginting, anak Betimus Mbaru.
Berdasarkan penuturannya bahwa di desa tersebut tidak ada hutan yang benar-benar hutan tapi yang ada adalah perladangan warga yang berbentuk hutan. Ia bahkan menawarkan kami jika ingin mencari data mengenai perlindungan hutan masyarakat lokal lebih baik masuk dari Desa Derek, Desa Jung Deleng. Ia juga menuturkan bahwa sudah banyak warga yang menebangi pohon duriannya dan menjualnya berupa papan atau balok. Menurutnya motivasi warga menebang pohon durian adalah karena tidak produktif lagi. Ketika saya melemparkan pertanyaan mengenai pemburu kalong (bengkik) ia juga tidak mengelak bahwa masih ada warga yang tetap berburu kalong tersebut. Ia berusaha tidak mengaitkan antara pemburu kalong dengan situasi produksi durian yang notabene kalong sebagai perantara perkawinan bunga durian. Ketika kalong berkurang maka proses perkawinan bunga durian  (penyerbukan) juga akan berkurang dan itu artinya buah durian juga akan berkurang.
Dari rumah nenek itu, terlihat tumpukan papan di pinggir jalan. “Orang –orang sudah mulai beralih tanaman dari tanaman keras menjadi tanaman muda, cokelat juga tidak bergitu bagus buahnya” ujarnya. Terlihat memang sudah terdapat tanaman jagung dan kacang-kacangan. Selain itu, banyak juga warga yang beralih ke pengelolaan nira (pola-air pohon enau) yang kebanyakan dijadikan tuak. Sedikit sekali warga yang menjadikannya gula (gula gara) hal ini karena berkaitan dengan proses memasak yang lama dan butuh kayu bakar yang banyak juga tentunya sedang tuak langsung cair uangnya. Dibelakang ruman nenek itu ada pemandangan indah bagi saya, pohon jambu air setinggi empat atau lima meter ditumbuhi oleh tanaman labu kuning (jambei), buahnya bergelantungan di pohon jambu itu dan banyak. Seekor ayam juga terlihat sedang mengerami telurnya dan tampak sedang siaga karena didatangi oleh seekor ayam yang lain ke tempatnya mengeram (sagak).
Cucu nenek itupun terus merengkek untuk dikenakan pakaian oleh neneknya, namun nenek itu masih juga terus melayani setiap pertanyaan yang kami lemparkan.
Ada hal unik lain disana. Desa tersebut adalah Desa Betimus Baru, sedang Desa Betimus Dekah (lama) tidak ada lagi penghuninya. Apa alasan mereka meninggalkan kampung itu? Berdasarkan penuturan Drs. Robinson Sembiring, M.Si (Pengamat Sosial Masyarakat Karo) bahwa banyak desa di sepanjang jalan Jamin Ginting muncul di era 70-an dan 80-an bukan desa yang tua bagi suku Karo. Hal tersebut sejalan saja dengan teori push and pull factor dalam sosiologi. Akses transportasi yang baik menjadi pendorong mereka untuk meninggalkan desa yang jauh dari akses transportasi. Desa Betimus Baru ini hanya dihuni oleh sekitar 85 rumah tangga. Banyak dari mereka berpindah ke Sibolangit atau ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih layak. Anak-anak di desa tersebut terlihat bermain kala sore itu dengan melempari pasir kea tap dapur losd (jambur). Nenek itupun melarang mereka sesekali. Aroma kotoran babi sesekali tercium, setelah saya telusuri ternyata dari arah hulu desa mengalir parit yang sepertinya limbah kotoran ternak mereka langsung mereka alirkan saja ke parit tersebut.


Karena melihatnya sedang sibuk mengurus cucu dan juga sepertinya ia sedang masak kami memutuskan pamit. Saya tidak berlebihan dalam mengetahui ini, saya tahu beliau masak karena dapur belakangnya terbuka dan kayu bakar sedang dilalap api dan membakar wajan besi diatasnya. Ketika Terang melanjutkan pembicaraan untuk pamit saya mengambil beberapa poto situasi desa. Dan kamipun pamit dan sepakat memutuskan memindahkan lokasi penelitian ke Desa Derek atau Desa Jung Deleng.







Find More Information About Karo Tracker Community on Facebook: www.facebook.com/salmensembiring or  https://www.facebook.com/salmensembiring/media_set?set=a.939927956024559&type=1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karo Berry (sebuah kenangan masa kecil)

Kerja Tahun Saat Ini

"Terites" secara sosiologis