Kekeringan Ide dan Aksi




Ada kejadian  yang ingin saya jelaskan tentang manusia yang mengalami kekeringan ide-aksi. Pertama bupati Karo yang sisa tugasnya tidak lebih dari satu setengah tahun. Beberapa tindakannya menurut saya mengalami kekeringan. Dan belum banyak aksi-aksinya yang luar biasa kita lihat sebagai wujud perubahan dari pemerintah sebelumnya. Padahal harapan akan perubahan begitu besar diletakkan dipundaknya.
Pertama  saya ingin membahas sang bupati. Ekspektasi kepada seorang bupati tentunya mampu memimpin dan melangsungkan pembangunan sebaik-baiknya. Namun kekonyolan di penghujung jabatannya ia lakukan. Ia  adalah seorang yang kering ide. Ia ingin meniru cara orang lain, namun tampaknya benar-benar meniru tanpa mempelajarinya terlebih dahulu. Pada januari lalu saya melakukan perjalanan ke kampung saya di Kabupaten Karo dan dari sanalah pemikiran saya ini hendak saya tuliskan. Saya melihat beberapa spanduk tentang bujukan tertib lalu lintas di kabupaten yang dipimpinnya tersebut.
Ketika saya menuju pajak singa (pasar mingguan, kegiatannya paling padatnya setiap hari senin) kesemrautan benar terjadi. Tidak jauh dari pasar itu ada juga spanduk ajakan tertib lalu lintas tersebut. Adakah seorang polisi lalu lintas atau pegawai dinas perhubungan mengatur kelancaran arus? Sebuah omong kosong besar. Harapan bupati tersebut hanyalah cita-cita yang melegenda,  yang bagi anggotanya (dias terkait atau pelaku di perlalulintasan) bukanlah suatu yang genting dan penting untuk dilakukan. Saya teringat apa yang dikatakan oleh sokoguru Sosiologi, pilihan rasional. Apakah bupati Karo kurang rasional dalam memilih tindakannya? Orang-orang hanya menunggu giliran kapan bisa masuk ke pasar tersebut, keluar dari pasar, kendaraan melalui trotoar, atau lapis dua, lapis tiga, lawan arah dan sebagainya. Kekacauan sangat luar biasa.
Bupati benar-benar kekeringan ide. Mungkin saja otaknya telah benar-benar tertekan semasa menjadi wakil bupati. Akhirnya sisa kepemimpinan bupati hanya seolah-olah untuk menunggu habisnya masa jabatan. Tidakkah ia pergi ke desa-desa melihat apa yang sebenarnya terjadi. Jalan menuju Desa Ndang Belawan yang begitu menjijikkan untuk dilalui. Jalan menuju Desa Serdang yang jurangnya seperti mulut naga tanpa ampun memakan apa saja yang mendekatinya. Mungkin saja ia tidak mengerti karena ia hanya di kota Kabanjahe. Tetapi setelah saya pikirkan tidak juga. Buktinya, kesemrautan parkir benar-benar mengganggu penglihatan saya. Belum lagi jalan yang rusak parah arah selatan pasar. Parkir telah memakai separuh badan jalan, namun hanya pengutip retribusi yang ramai disana, tidak dengan petugas pegawai polisi atau dinas perhubungan. Dia sepertinya tidak bisa mengarahkan anggotanya untuk mengamankan parkiran yang luasnya tidak lebih sepuluh hektar saja. Apalagi sebuah  kabupaten yang  demikian luasnya.
Pada awal februari, saya kembali melakukan perjalanan ke Kabanjahe. Hampir setiap saya kesana ada razia dari satlantas di jalan menuju terminal. Juga pernah saya lihat rajia di dekat kantor bupati. Ini awal yang baik, semoga bukan demam bayi yang tumbuh gigi dan hilang seiring tumbuhnya gigi yang kuat seperti kuatnya pelanggaran berlalu lintas. Apa dari dua hal ini yang hendak kita lihat? Ini adalah bentuk kekeringan aksi. Di satu sisi ia diam dengan situasi pasar Pajak Singa dan Pajak Lama Kabanjahe yang semraut sekali lalu lintasnya. Malah rajia satlantas hampir setiap hari dilakukan di sudut kota yang sebenarnya bisa dinomorduakan. Yang perlu dipahami sang Bupati adalah diagram Pareto untuk membedakan kuadran genting dan penting. Apakah ia terburu-buru dimasa akhir jabatannya yang super singkat ini sehingga tidak mampu memahami kuadran itu atau memang tidak ada kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin.
Pada tanggal lima Februari saya melintasi (terminal?) Berastagi. Hampir tidak ada lagi yang berjualan di terminal tersebut. Saya ingat bahwa sudah pernah juga dilakukan hal serupa masa bupati-bupati sebelumnya tetapi tetap saja mengulang kejadian. Apa artinya ini? Ini juga bentuk kekeringan ide. Mereka kembali menunjukkan dua hal, pertama aturan yang dibuat sepertinya keras di awal lembek di akhir atau tidak berkelanjutan terutama pengawasan. Kedua, tidak ada solusi bagi pelaku bisnis  yang kena gusur tersebut, karena itu juga mereka selalu menantikan masa kelelahan petugas untuk dapat mencuri kesempatan. Seorang penjual jeruk yang saya ajak berbicara menyatakan masih khawatir dengan situasi tersebut. Memang ia berjualan di teras  kios paling depan. Karenanya perlu juga dipikirkan solusi tempat mejual barang dagangan bagi mereka yang kena gusur. 

Situasi Stasion Berastagi, Desember 2014


Tanggal yang sama saya membaca harian lokal tentang mutasi besar-besaran pejabat eselon di jajaran pemerintahannya. Saya harap orang telah dimutasi tersebut bukan orang-orang yang bekas stressnya sama dengan beliau pada masa bupati sebelumnya. Pejabat tersebut seyogianya tidak mengalami kekeringan ide sehingga melakukan tindakan-tindakan yang “kurang rasional” dalam arti tidak sesuai cara dan harapan yang dikandung dalam aksi tersebut. Ekspektasi masyarakat tentunya semakin tinggi dengan adanya mutasi ini. Jika tidak ada aksi yang benar-benar membumi maka kekecewaanlah hasilnya. Dan puncak kekecewaan tentunya akan jatuh pada orang yang melakukan mutasi tersebut bukan yang dimutasi.
Sesungguhnya ada banyak cara untuk menghilangkan kekeringan ide-aksi. Dalam menulis misalnya cara terjitu untuk mendapat inspirasi  adalah pergi ke tempat baru yang tidak biasa atau belajar kepada “anak-anak”. Politik adalah seni memainkan kekuasaan, karenanya ia tidak boleh kekeringan ide-aksi. Siapakah anak-anak bupati dan dimanakah tempat tidak biasa itu? Tempat yang tidak biasa yang dimaksudkan adalah belajar kepada orang-orang yang kompeten atau tempat yang cukup baik mengelola daerahnya. Jangan meniru tindakan tanpa memahami, karena itu artinya dramatis.  Saya kira tidak sedikit putra-putri Karo yang kompeten dan dapat belajar dari mereka misalnya dari Seratus Tokoh Karo. Dan anak-anak yang dimaksudkan adalah masyarakat Karo itu sendiri. Bagaimana bupati dapat tahu apa yang diinginkan rakyatnya jika ia hanya mengunjungi tempat-tempat yang aksesnya begitu mudah? Atau hanya duduk beraudiensi dengan kelompok-kelompok yang mengerti surat. Seharusnya orang tua yang memahami anak, bukan anak menunggu pemahaman orang tua. Dengan bupati banyak belajar dari orang hebat dan memahami apa kejadian sesungguhnya dari masyarakat maka tidak akan terjadi kekeringan aksi. Karena apa yang dibutuhkan rakyatnya dapat dipahami dengan turun ke jalan, sedang apa tindakan yang dilakukan dapat belajar dari orang berpengalaman.


Salmen  Kembaren
Sosiolog
Aceh Selatan, Seminggu sebelum hari kasih sayang 2015.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karo Berry (sebuah kenangan masa kecil)

Kerja Tahun Saat Ini

"Terites" secara sosiologis