Rekonstruksi Legenda Batu Si Pispis - Berhala (Cerita Rakyat Karo)
Begitu
banyak cerita rakyat Karo yang kita ketahui baik berupa mitos, legenda ataupun
dongeng. Beberapa yang paling terkenal seperti Pawang Ternalem, Putri Ijo
(Meriam Puntung), Beru Rengga Kuning, Beru Dayang, Si Pais, Laga Man, Totem
Merga-Merga dan sebagainya. Menurut saya setiap kewilayahan Suku Karo memiliki
cerita rakyat tersendiri yang masih banyak terpendam dan hampir tenggelam. Hal inilah
yang perlu kiranya digali kembali sebelum cerita itu semakin kerdil kisahnya dan hilang
bersamaan dengan hilangnya orang-orang tua.
Apa
pentingnya menggali cerita rakyat (folklore) itu? Sejauh yang saya ketahui,
sebagian cerita itu memang hanya sebagai mitos belaka yang sulit diterima akal kebenarannya. Mitos dikarang orang tua
jaman dahulu sebagai pengendali sosial (social control). Didalam setiap cerita
rakyat, pasti terkandung nilai-nilai (values loaded). Nilai-nilai tersebut bisa
saja nilai heroic, rasa hormat, cinta kasih, petualangan/perjuangan hidup, dan
karakter, dan nilai konservasi lingkungan. Alex Inkeles pernah berkata bahwa
anak-anak manusia sangat dipengaruhi oleh apa yang mereka baca. Dengan demikian
dunia pendidikan sangat penting dalam menyajikan bahan seperti apa yang akan
membentuk kepribadian anak itu. Pendidikan (bahan bacaan) adalah virus yang
cepat menyebar yang membentuk manusia-manusia. Apakah mereka akan menjadi
manusia modern yang berkarakter atau menjadi pengikut modernitas yang hanyut
dan mati dalam arus itu.
Sebagai
orang timur, saya kira hanya sedikit yang diantara kita menginginkan anak-anak
kita akan menjadi followers zaman ini. Kita selalu menginginkan anak-anak
bangsa ini menjadi pemimpin yang berbudi pekerti sedangkan pendidikan karakter
mereka hanya dapatkan sekitar 2-3 jam dalam seminggu. Sedangkan 22 jam lainnya
otak mereka disuguhi ilmu-ilmu eksakta, politik, keterampilan dan ilmu
memuakkan lainnya. Hasilnya adalah seperti yang kita lihat sekarang ini hampir 70%
kepada daerah tersangkut kasus KKN (http://news.metrotvnews.com/read/2014/12/31/339225/menutup-panggung-2014). Perlu dikaji apa yang
mereka pelajari saat masih SD, SMP sampai perguruan tinggi. Saya yakin sekali
lebih banyak mereka membaca buku sains termasuk sosial sains daripada buku-buku
yang membina mental mereka.
Saya
tidak ingin mengembalikan zaman ini ke zaman kegelapan (aufklaurung). Saya sangat
merindukan mereka dicekoki nilai-nilai luhur nenek moyang mereka. Nilai-nilai
yang sangat menghargai perjuangan, nilai-nilai yang sangat mencintai lingkungan
alam, nilai-nilai yang penuh toleransi dan nilai-nilai sosial lainnya. Setidaknya
dalam benak saya, salah satu cara adalah memberikan mereka bahan bacaan
(viruses) yang meninggalkan bercak karakter-karakter yang penuh budi pekerti. Tentunya
tidak akan terlepas dari bimbingan orang tua dan dunia pendidikan dalam
memberikan pemahaman mengenai bacaan tersebut.
***
Dalam
perjalanan Tim KTC dari Serdang ke Liang, ada beberapa legenda masyarakat yang
dapat dijumpai disana. Kali ini legenda yang ingin saya rekonstruksi kisahnya
adalah Legenda Berhala dan Batu Sipis-pis. Rekonstruksi yang saya maksudkan
adalah merangkai kembali bingkai legenda tersebut tanpa menceritakan banyak
momen didalamnya. Menurut hemat saya, perlu fantasi lebih jauh dan mendalam
dalam merangkai kisah ini menjadi sebuah buku. Karena waktu saya yang belum
cukup untuk itu, maka saya hanya mencoba sampai merangkai bingkai cerita. Dan dengan
senang hati, setiap orang yang ingin membukukan kisah ini tanpa setitik rasa
iri saya akan mendukung penuh sampai buku tersebut dapat dibaca seluruh orang
Karo dimanapun berada. Dan tentunya akan lebih baik jika ia disajikan ebrsama
cerita rakyat Karo yang lain dalam satu buku dokumentasi.
Prolog
Laya-laya memang telah usai, namun sisa derita masih mendera Rakyat
Karo di seluh penjuru negeri. Derita mereka berupa sisa penyakit, tanah yang
baru ditanami sehingga banyak yang menderita kelaparan. Ada diantara mereka yang
melakukan perjalanan jauh menjumpai saudara mereka dan ada juga yang merantau
ke negeri seberang. Seperempat penduduk desa telah meninggal akibat laya-laya
yang kejam itu. Kebanyakan dari yang meninggal itu adalah anak-anak dan orang
tua.
Berhala, gadis belia yang juga
hidup dizaman Laya-laya selamat dari serangan mematikan itu. Kini ia tinggal
bersama ibu dan seekor anjingnya. Ayahnya dan saudaranya meninggal akibat
serangan Laya-laya saat usianya anak-anak. Melihat situasi desa yang masih
terpuruk, juga menanam padi masih menunggu enam bulan lagi baru panen maka ia
berniat merantau. Sangat jarang sekali anak perempuan merantau di kalangan Suku
Karo.
Ia sering bertanya-tanya kepada perlanja sira tentang kehidupan di Karo
Jahe atau dimana saja di negeri yang jauh. Setelah membulatkan niat, ia memohon
kepada ibunya. Tentunya larangan keras datang dari ibu Berhala karena hal
tersebut sangat akan memalukan bagi keluarga. Terlebih mereka adalah keturunan
Barus Simantek Kuta. Perdebatan mereka sengit, sampai-sampai Mama Berhala
datang meredam pertentangan itu. Dengan jiwa diplomatnya, Mama Berhala akhirnya
meluluhkan hati ibu Berhala dan mengijinkannya merantau.
***
Berhala
akhirnya ikut bersama rombongan perlanja Sira menuju dataran rendah di sebelah
utara Deleng Lau Simbiring. Enam jam perjalanan ia masih melihat pucuk Deleng
Barus. Empat jam kemudian ia tidak melihat lagi bukit-bukit tempatnya dahulu
dibesarkan bersamaan dengan datangnya kegelapan malam.
Ia
tidak membawa kenang-kenangan dari ibunya. Ibunya hendak memberi tongkat
ayahnya kepadanya namun ia menolaknya. Justru ia ingin membawa anjing semata wayangnya, namun
itu juga diurungkan karena susah sekali tentunya merawat anjing di negeri yang
belum diketahui keberadaannya. Hanya bekal sehari dan pakaian seadanya yang ia
bawa.
Parasnya
yang cantik juga sikapnya yang lembut meluluhkan hati seorang saudagar dari
negeri di seberang laut, Sanggapura. Ia pulang pergi berjualan ke pinggiran laut
Melaka, membeli lada dan kayu-kayuan. Ia mengajak Berhala untuk bergabung dan
bekerja untuknya di negaranya. Tanpa sedikit rasa keraguan Berhala ikut dalam
perahu itu. Dan sering pulang pergi ke daerah pinggiran pulau Sumatra bersama
kapal besar itu.
***
Sang
anak saudagar keturunan Raja Melaka suka kepada Berhala dan akhirnya
menikahinya. Kali ini sahlah Berhala menjadi keluarga saudagar. Sudah lima
tahun berselang ia tidak pernah pulang lagi ke Negeri Serdang, kampung
halamannya. Ia terlanjur mengatakan kepada saudagar itu bahwa ia telah menjadi
anak melumang karena serangan Laya-laya. Karena kisah itu juga dahulu saudagar
itu membawanya ke negerina.
Sekali
jadi ibunya mendapat cerita dari perlanja sira bahwa anaknya si Berhala telah
menikah dengan saudagar kaya dari negeri seberang laut. Ibunya tentunya tidak
tahan lagi ingin berjumpa melihat putrinya yang teramat disayanginya itu. Tubuhnya
yang mulai keriput kembali terasa segar karena ingin berjumpa. Ia sering
menitipkan salam melalui perlanja sira agar disampaikan rasa rindunya kepada
anaknya itu.
Secara
sembunyi-sembunyi berhala sesungguhnya ingin menjumpai ibunya namun karena
takut akan ucapannya dahulu ia menahan itu. Ia sering mengirimkan dua atau lima
sen melalui perlanja sira kepada ibunya. Sedangkan ibunya sering mengirimkan
gula batak dan gula tualah kesukaan Berhala.
Ibu
berhala akhirnya mengokohkan kaki dan niatnya untuk dapat turun bersama
perlanja sira. Tujuannya hanya satu agar dapat melihat wajah puterinya itu. Kehidupan
di gugung belum normal, masih saja kemiskinan merasuki kehidupan rakyat disana.
Banyak sekali penduduk yang menderita gadam dan barut disana. Akhirnya ibunya berangkat juga bersama
perlanja sira. Sehari penuh perjalanan mereka.
***
Lebih
seminggu ia menunggu kapal saudagar itu. Makan dan hidupnya ditanggung perlanja
sira itu yang juga menunggu kapal saudagar itu untuk menjual barang dagangan
mereka yang datang bersama kapal itu juga. Harapnya kini memuncak di ubun-ubun
tatkala dari kejauhan tampak kapal di pinggir laut. Perlanja sira mengemasi
raga-raga mereka. Ibunya juga mengemasi barang-barangnya. Anjing keluarga itu
juga ikut dan terus menggoyang-goyangkan ekornya seolah ia juga merasa gembira
menunggu kapal itu.
Sore
juga kapal itu baru berlabuh di pinggir pantai. Perlanja sira akhirnya
bercerita ke Berhala bahwa ia membawa ibunya. Berhala dari atas kapalnya
melihat bahwa itu memang ibunya bersama dengan tongkat ayah dan anjingnya. Tangis
dan malu bersatu di jiwanya seolah terpukul oleh tongkat ayahnya itu. Pakaian ibunya
yang lusuh sangat tidak sebanding lagi dengan kehidupan berhala yang penuh
kekayaan. Ia pun turun bersama pedagang lainnya membeli barang dagangan. Ibunya
menanyai orang lain yang manakah anaknya itu.
Akhirnya
ia menjumpai Berhala. Berhala langsung menyuruh puteranya naik ke kapal. Suaminya
dari atas kapal bertanya siapa perempuan itu. Berhala mengelak, ibu tua ini
membawa peninggalan dari dari almarhum ayah saya. Ini adalah tongkat dan anjing
kesayangan ayah saya. Lalu ia memberikan lima sen kepada ibu itu dan langsung
naik ke kapal membawa tongkat dan anjing itu. Demikianlah hebatnya ingatan
seekor anjing, sudah bertahun-tahun berpisah masih saja ingat kepada tuannya. Tidak
dengan berhala yang karena melihat kemiskinan ibunya melupakan segalanya. Ibunya
berteriak bahwa ia ibunya. Suaminya melihat ke istrinya tapi istrinya berjalan
dengan cepat masuk ke kapal. Orang-orang hanya terdiam karena tidak akan ada orang
yang berani menasihati saudagar kaya keturunan Raja Melaka di Sanggapura.
Terpukul
benar hati ibu berhala dengan apa yang terjadi itu. Suaminya menjumpai ibu tua
itu. Ibu berhala menceritakan semuanya. Tapi suaminya juga kurang percaya
karena takut ibu itu hanya mengaku-aku hanya karena ingin berhenti dari hidup
miskinnya. Si suami juga meberikan lima keeping emas ke ibu itu untuk bekalnya
pulang. Ibu itu tidak melihat kepingan emas itu diikat di tudungnya.
***
Perlanja
sira menenangkan hati ibu Berhala. Dan mereka menuntunnya pulang keesokan
harinya bersamaan dengan berangkatnya kapal itu juga. Hatinya masih terpukul
dengan sikap anaknya itu. “Tega benar anak yang lahir dari perutku berbuat
demikian kepadaku” pikirnya. Sesampainya di Buntu ia menyuruh perlanja sira
lebih dahulu saja berjalan, ia akan menyusul karena memang hanya tinggal 2 jam
saja perjalanan menuju Negeri Serdang panteken Barus, nenek moyang Berhala. Perlanja
sira itu meninggalkan ibu Berhala di kampung Buntu.
Ibu
Berhala menatap ke laut sore hari itu. Memang dari puncak gunung tampak laut jika
tidak ada awan atau kabut yang menghalangi. Ia menangis dan mengutuki anaknya
itu. Mulailah angin kencang dan hujan lebat meliputi sejauh pandangan sore itu.
Tidak tampak lagi laut dari bukit itu. Ia meneruskan perjalanannya. Air matanya
mengalir bersama air hujan yang dahsyat itu. Ia mematahkan sebatang bambu kecil sebagai tongkatnya.
Angin
kencang itu juga menerjang kapal keluarga Berhala itu rupanya dan akhirnya membalikan
kapal itu. Belum jauh sesungguhnya kapal itu dari pantai, namun demikian tidak aka
nada orang yang mampu berenang demikian jauhnya. Anjing itu ternyata
menyelamatkan diri dari kepingan papan dan berhasil mendarat di pantai. Orang-orang
lain tenggelam bersama kapal itu. Adapun yang sempat melompat dari kapal itu
tetap saja mati karena badai laut.
Ibu
berhala tidak dapat melihat jalan lagi dalam tebalnya kabut. Akhirnya ia
bermalam dibawah kayu besar. Ia tidak sadar bahwa ia berada di Kerangen Sipis-pis
Deleng Lau Simbiring yang sangat dikeramatkan selurh penduduk negeri Serdang baik di gunung maupun dataran rendah.
Ia bermalam disana. Anjing itu ternyata mengingat jalan pulang dan terus
berjalan di malam yang hujan lebat itu. Tengah malam anjing itu mendapatkan Ibu
Berhala, ia menjilatinya dan berteduh di bawah kayu itu.
Setelah
merenung dalam gencarnya petir Ibu Berhala merasa tidak ada gunanya lagi
hidupnya karena anaknya juga telah meninggalkannya. Suaminya juga telah
meninggal. Putera-puteranya juga telah mati karena laya-laya itu. Ia pun mengutuki
dirinya, betapa malang hidup yang diberikan Tuhan kepadanya. “Biarlah aku mati
saja” ujarnya dalam hati. Namun ia juga takut bunuh diri. Doanya didengarkan
oleh Keramat Kerangen Si Pispis. Petir yang dahsyat menyambar di dekat kayu itu
dan kagetnya membuat ia membeku dan akhirnya membatu bersama anjingnya.
Batu di Kerangen Si Pispis, diyakini sebagai ibu Berhala
***
Sampai
saat ini masyarakat desa-desa di kecamatan Barus Jahe dan STM Hulu mempercayai
legenda ini. Terdapat batu besar yang diyakini sebagai ibu Berhala di kerangen
Si Pispis, juga ada sebatang bamboo yang tumbuh di dekat batu itu yang sampai
saat ini tidak pernah tumbuh tinggi. Bamboo tersebut diyakini sebagai tongkat bamboo
yang digunakan ibu berhala ketika pulang karena tongkat ayahnya telah diambil
berhala. Juga terdapat batu kecil yang diyakini sebagai anjing. Sedangkan kapal
berhala yang terbalik itu diyakini sebagai sebuah pulau yang tidak berada jauh
dari pulau Sumatra.
Dari
kisah ini kita dapat mengajarkan kepada anak-anak Suku Karo untuk menghargai
ibu atau orang tua bagaimanapun keadaannya. Karena suami atau istri dapat
diganti tapi ibu yang melahirkan tidak akan dapat diganti. Ia dapat diganti diatas
kertas tapi tidak dapat diganti didalam darah. Karena doa ibu sangat
mempengaruhi kehidupan anak-anaknya. Selamat berbagi cerita.
Salmen Kembaren
(sosiolog dan pemerhati lingkungan)
Sponsored and Supported by
Karo Tracker Community
Balai Adat Budaya Karo Indonesia (BABKI)
Komentar
Posting Komentar