Catatan Harian

Medan
27-Agustus-2012
(Catatan Harian)
 Apa itu Bahagia?(Part 15)

Siang hari itu, Kota Medan terasa seperti hari-hari biasa bagi saya. Tanpa kesialan. Seperti hari-hari sebelumnya pikiran jahat bercampur rasa benci akan situasi hidup masih dapat dibendung karena tekanan-tekanan kebutuhan. Kita belum merdeka, dalam hati saya berpikir. Sekitar pukul tiga sore, YPK GBKP rapat di ruang NDC membahas tentang pembukuan mereka. Saya hanya sebagai pengamat saat itu, Seorang pertua berkulit hitam(Pandia), Pak A.Sembiring, Ibu J br Sebayang berbicara panjang lebar mengenai YPK. Saya belum begitu paham pembicaraan mereka. Saya hanya mencoba-coba mem-print apa saja pada printer yang baru diperbaiki namun masih juga belum bagus. Sore Hari sekitar pukul setengah tujuh, hujan lebat beserta angin kencang menimpa kawasan Medan Selayang. Sebuah jendela di ruangan NDC tidak dapat ditutup karena pengaitnya rusak, jadi air hujan masuk ke dalam ruangan. Saya dan Pak Sembiring mencoba menutupnya namun tidak bisa. Lima belas menit kemudian rapat pun bubar karena lampu mati, hidup, mati dan seterusnya. Kami pun turun dari lantai dua, Ibu Sebayang langsung pergi dengan mobilnya. Saya dan Pak Pandia lari ke parkiran, sedang Pak A Sembiring menunggu hukan reda. Begitu kami sampai di parkiran hujan semakin deras, dan kami pun menunggu hujan reda di parkiran. Satu jam setengah menunggu hujan reda di parkiran, kaki sudah mulai terasa keram. Hembusan angin membawa percikan air hujan ke parkiran.

Air juga sudah mulai memasui lantai parker dan tinggal sedikit yang belum tergenangi. Sambaran Guntur tanpa henti sangat menambah kengerian saya saat itu. Tuhan mungkin jauh. Karena menunggu dan menunggu kami pun membicarakan banyak hal, ertutur sampai masalah kinerja PEMDA KARO. Pak Pandia berasal dari Keling namun dia adalah anak rantau dilahirkan dan dibesarkan di tanah rantau. Sebelumnya ia sudah pernah tinggal di Kisaran sebagai guru, dan pindah ke medan sekitar sepuluh tahun lalu. Semenjak usia muda ia sudah menjadi pekerja Tuhan, bahkan dengan bangganya ia mengatakan bahwa ia sudah menjalani periode ke Lima. Ketika saya singgung akan menjadi Emeritus(Gelar kehormatan Pertua Diaken) ia menyatakan usianya belum sampai menurut aturan di GBKP. Lebih dari itu, menurutnya kinerja Pemda Karo sangan rendah. Orang-orang tidak berkompeten, bukan birokrat tapi pengusaha itulah cocoknya pemerintah sekarang. Kepala dinas yang sering gonta-ganti menurutnya adalah akal-akalan saja. Mana ada manusia dapat menjalankan program besar hanya dalam dua bulan. Imposible! Setelah satu jam setengah hujan mulai agak reda. Pak Pandia langsung pergi dengan sepeda motornya. Dia harus pergi karena ada PA mamre di runggunnya. Saya pun bergegas juga karena sudah terasa lapar di perut saya. Di jalanan mulai macat, satu ruas jalan Jamin Ginting(selayang) tidak dapat dilalui lagi karena banjir dan masuk ke ruas jalan yang melawan arus akibatnya jalanan mulai macat. Belum lagi banyaknya angkutan kota(angkot ) yang mogok. Saya juga mengikuti arah yang melawan arus tersebut, karena semua kendaraan juga melaluinya. Tiba di jalan Setia Budi banjir tidak ada lagi, namun setelah setengah perjalanan di Jl Setia Budi banjir yang lebih dalam meliputi kedua sisi badan jalan. Kendaraan padat merayap. Suara klakson bersahut-sahutan. Kedalaman banjir sekitar 50-100 cm. Dari kejauhan saya lihat ratusan sepeda motor sudah mogok, ada yang mendorong terus, ada yang ke kaki lima rumah warga. Ada yang cemberut, ada yang tersenyum karena melihat nasip yang sama. Saya juga akhirnya masuk ke kawasan banjir tersebut, dengan gas yang sangat tinggi dan menarik tuas rem sangan kuat agar mesin tidak mati, alhasil, akhirnya juga bernasip sama dengan ratusan orang lain. Mogok. Kenapa harus masih ada banjir? Kota metropolitan? Siapa petugas perancang tata kota? Siapa P.U? Hal yang sama juga mungkin menjadi pertanyaan orang yang melintasi banjir tersebut.

Saya juga mendorong sepeda motor saya ke kaki lima sebuah bengkel. Disitu sudah menunggu beberapa sepeda motor yang ikut mogok juga. Di kaki lima tersebut banjir tidak sampai, namun apabila sebuah bus lewat maka air sampai juga seperti ombak. Saya mengingat pantai ketika air naik ke kaki lima tersebut dan menyentuh semua kaki-kaki manusia yang berdiri disitu. Setiap detiknya jumlah kereta mogok terus bertambah, Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ada juga yang mendorong terus menerus. Jam menunjukkan pukul 21.15. Seorang berlogat jawa-madura juga datang kea rah kami. Dia membawa percakapan, dan sangat banyak berbicara, saya hanya tersenyum dan mengiyakan seluruh pembicaraannya. Saya hanya mengerti sekitar separuh dari apa yang diucapkannya, karena gaya bicaranya yang sangat cepat dalam melontarkan kata-kata. Ia mengengkol-engkol sepeda motornya, dah hidup. Air keluar dari knalpotnya. Saya hanya memperhatikan orang yang mogok dijalanan dan mendorong kendaraan mereka.

Dua pasang kekasih duduk diatas sepeda motor mereka, sangat basah. Seperti saya dan yang lain juga. Tampaknya si lelaki tersebut ingin segera pergi dan mendorong sepeda motornya namuun pacarnya masih menolaknya, dan hal tersebut berulang-ulang saya perhatikan. Wajah lapar tercermin dari muka-muka yang berdiri di kaki lima tersebut. Hujan masih gerimis. Seorang lelaki Batak menawarkan agar mendorong sebentar sekitar 100 meter dan dihidupkan setelah lewat kawasan banjir itu. Tampaknya menurut prediksinya air takkan surut dalam hitungan jam atau mungkin semalaman itu, beberapa orang mengikutinya. Karena hujan masih juga tetap turun dan jam sudah menunjukkan pukul 22.00 maka saya dan orang jawa-madura tersebut juga berencana menembus banjir tersebut. Kembali kea rah simpang selayang. Hal tersebut sebenarnya membuat rute perjalanan saya semakin jauh sekitar 10 KM, namun apa daya saya juga mendorong sepeda motor dan pulang dari arah Sp.Pos. Karena ditekan rasa lapar dan dihujani rasa dingin. Saya menggas sepeda motor saya. Saat itu saya tidak melihat speedometer entah berapa kecepatannya. Tiba di depan sebuah perumahan seorang perempuan mengendarai sepeda motor tiba-tiba keluar dan saya juga harus tersentak menarik tuas rem. Ban belakang meper seperti arah lilitan ular. Saya sangat merasakan hal tersebut. Saat itu saya hanya membayangkan dan merelakan bagian-bagian tulang saya akan segera patah, namun karena saking takutnya perempuan itu juga menggas sepeda motornya dan saya mendengar teriakannya. Mungkin karena takut saya tabrak atau karena takut saya dikira jambret. Entahlah. Karena tidak terjadi tabrakan saya sangat bersyukur. Tuhan itu hanya sebatas ingatan dan ketakutan. Saya mengingat dosa saat itu, namun apakah hanya dosa saya yang membuat hari seperti itu? Lima kilometer kemudian saya berpapasan lagi dengan perempuang yang mengendarai sepeda motor yang hampir saya tabrak, saya hendak mendekatinya untuk meminta maaf. Tampaknya ia mengenali sepeda motor saya dan segera saya sudah dekat, ia langsung menggas sepeda motornya kembali, dan tak terlihat lagi oleh saya karena sudah berbeda arah.

Ternyata buru-buru hanya membawa berbagai masalah dalam hidup, perlu ketenangan dalam berpikir sebelum bertindak. Akhirnya saya sampai dirumah dan selera makan saya pun akhirnya hilang.
 Tuhan begitu dekat dari kejauhan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karo Berry (sebuah kenangan masa kecil)

Kerja Tahun Saat Ini

"Terites" secara sosiologis