Menyoal (Kembali) Keragaman Pangan Karo

Bagian I

Oleh Salmen S. Kembaren

- Sosiolog
- Staff LITBANG Moderamen GBKP
- Kelompok Riset Sosiologi Antropologi Karo

Makanan berkaitan dengan pengetahuan dan strategi bertahan masyarakat. Sering kita dengar masyarakat  dunia membicarakan dan khawatir akan pangan dunia. Bahkan Malthusian, mengkhawatirkan pertumbuhan masyarakat dunia yang tidak sejalan dengan pertumuhan pangan dunia yang sampai sekarang berlum terjadi. meskipun belum terjadi banyak sisi muka bumi yang kelaparan seperti di banyak negara Afrika dan Asia Selatan. Tantangan mengenai makanan (pangan) juga berimbas dengan perubahan iklim dunia yang didalamnya keadaan cuaca tidak menentu megnakibatkan produski pertanian tidak stabil.

Indonesia sebagai negara agraris sendiri masih belum mampu sepenuhnya memenuhi kebutuhan pangan (belum mandiri pangan). Padahal banyak dari produk pangan yang diimpor merupakan komoditas yang dapat dikembangkan di dalam negeri. Seperti beras sebanyak 1,8 Juta Ton, jagung sebanyak 1,7 Juta Ton, Kedelai 1,9 Juta Ton, terigu mendekati 1/2 Juta Ton, Gula Pasir hampir 1 Juta Ton dan berbagai produk pangan lainnya. (Selengkapnya di http://beranda.miti.or.id/10-bahan-pangan-indonesia-masih-impor/). Hal yang hendak disoroti pertama adalah mengapa pemerintah lebih memilih impor daripada mengupayakan peningkatan produksi dalam negeri. Apakah mereka rela mengorbankan petani demi keuntungan mereka dalam proses impor tersebut? Itu ada dalam benak kita masing-masing.

Kebutuhan beras nasional misalnya, setiap tahun meningkat dikarenakan pertumbuhan penduduk dan dikarenakan masyarakat tidak memiliki lagi barang substitusi. Hampir seluruhnya masyarkaat Indonesia saat ini memakan nasi (beras) sebagai makanan pokoknya, bahkan masyarakat yang bukan beras sebagai makanan pokoknya saat ini sudah terpaksa mengkonsumsi beras diakrenakan barang substitusi tersebut sudah sangat sulit didapatkan. Sebagai contoh masyakatak di Timur Indonesia yang banyak mengkonsumsi jagung dan sagu sebagai makanan pokok sekarang sudah menjadikan beras sebasgai makanan pokok.

Kendala berikutnya adalah upaya ekstesifikasi komoditas perkebunan bukan pangan. Hal ini ditandai dengan meluasnya lahan perkebunan sawit di Indonesia, bahkan banyak pula masyarakat yang sebelumnya bertani pangan beralih menanam sawit. Juga pemerintah sendiri (PTPN) lebih suka menanam tanaman perkebunan daripada tanaman pangan (pokok). Akibatnya ekspor produk perkebunan memang meningkat, namun kekurangna pangan juga terjadi. Seperti ungkapan "Kelaparan Dalam Panen Besar" itu menjadi ungkapan paling pas. Selain itu hilangnya (keragaman) beberapa komoditas pangan lokal menjadi berkurang bahkan sebagaian hilang.

Hal tersebut juga terjadi pada masyarakat Sumatera Utara (yang didalamnya juga terdapat Suku Karo), kemunculan beberapa komoditas perkebunan berdampak pada produksi bahan pangan berkurang (terutama beras). Subsektor Perkebunan merupakan subsektor yang memiliki jumlah rumah tangga usaha pertanian yang melakukan pengolahan hasil pertanian terbanyak. Jumlah rumah tangga usaha pertanian yang melakukan
pengolahan hasil pertanian terbesar adalah Subsektor Perkebunan tahun 2013 tercatat sebesar 46.013 rumah tangga. Sedangkan jumlah rumah tangga usaha pertanian yang melakukan pengolahan hasil pertanian paling sedikit tercatat pada Subsektor Kehutanan, yaitu sebanyak 2.362 rumah tangga. Subsektor Tanaman Pangan tercatat memiliki jumlah rumah tangga usaha pertanian yang melakukan pengolahan hasil pertanian sebanyak 30.112 rumah tangga, sedangkan Subsektor Hortikultura, Peternakan, dan Perikanan memiliki jumlah rumah tangga usaha pertanian yang melakukan pengolahan hasil pertanian masing-masing sebanyak 4.656, 4.280, dan 3.112 rumah tangga. (selengkapnya di http://sumut.bps.go.id/?opt=2&qw=pub#

Perkembangan industri makanan dan pola makan masyarakat dunia juga mengubah pola makan Suku Karo dan berdampak pada berkurangnya keragaman pangan Suku Karo itu sendiri. Dalam asumsi awal, bahwa hampir 50% jenis makanan tradisional Karo tidak dikonsumsi lagi. Masyarakat Karo lebih memilih komoditas pertanian yang pasarannya meyakinkan di pasar seperti Jeruk, Kopi, Coklat, Sawit, dan hortikultura lainnya. Kita tidak dapat mengharapkan pemerintah untuk mempertahankan beragam pangan ini, padahal selayaknya ini memang tugas mereka. Bahkan sampai saat ini belum ada lembaga tertentu yang kita temukan untuk mendata keragaman pangan ini. Berawal dari kekhawatiran ini maka dirasa perlu merekonstruksi kembali keragaman pangan Suku Karo baik yang mendiami Deli, Dusun, Langkat, Julu, Singalor dan lainnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karo Berry (sebuah kenangan masa kecil)

Kerja Tahun Saat Ini

"Terites" secara sosiologis