Tangkahen, Wisata Alam Perlu Perhatian Pemda Langkat



Catatan Perjalanan Wisata
Salmen Kembaren
Sosiolog
Karo Langkat, 2 Maret 2014
Perjalanan selama 2 jam dari Bukit Lawang terasa sangat melelahkan dan membosankan. Melelahkan karena sepanjang jalanan yang kami lalui, dapat dikatakan jalanan yang sudah diaspal tidaklah lebih dari 10%. Dan membosankan karena sepanjang jalan 90% pemandangannya adalah bentangan perkebunan sawit. Benar-benar membuat jenuh. Perjalanan saya bersama 9 orang lainnya dimulai pukul 06.00 WIB dari Bukit Lawang dan tiba di Tangkahen pukul 08.25 WIB. Dua orang diantara kami adalah penduduk BUkit Lawang sebagai guide menuju lokasi. Teman-teman mencoba untuk tidur di dalam mobil, namun karena jalanan yang rusak membuat kami tidak bisa tidur.
Terlihat beberapa perkampungan sepanjang perjalanan, terlihat rumah warga berdekatan, sesekali rumah ibadah.Musim kemarau panjang selama januari dan februari 2014 membuat jalanan berdebu.

Kebosanan tersebut sepertinya terbayarkan dengan sampainya kendaraan kami di Tangkahen. Kami turun ke sungai melalui sebuah warung kopi/makan. Entah mengapa ia menyuruh kami turun dari belakang rumahnya padahal ada pintu gerbang. Analisa saya agar tidak berbayar retribusi untuk masuk. Banyak orang kami lihat masuk dari pintu utama, namun saya tidak tahu apakah mereka berbayar atau tidak.

Mengenai bekal makanan, saya kira tidak perlu khawatir beberapa warung menyediakan makanan berat dan ringan dengan harga sedidik diatas rata-rata, namun masih terjangkau oleh masyarakat awam. Namun, perlu dipikirkan bagaimana cara agar Tangkahen menjadi wisata murah agar meningkatkan jumlah kunjungan. Tampak juga beberapa masyarakat lokal menjajakan minuman dan makanan ringan langsung mendekati sungai. Pada saat kunjungan kami, air sungai sedang surut, menurut seorang warga setempat ini dikarenakan kemarau yang telah 2 bulan berlangsung.

Kami menyeberangi sungai untuk mandi. Seorang teman kami yang pernah berkunjung sebelumnya menyatakan bahwa ada tempat mandi yang lebih bagus  sedikit ke arah hulu. Akhirnya kami pun sampai ke tempat mandi yang dikatakan oleh teman kami tersebut. Sangat alamiah.

Sarapan pagi dengan mencelupkan kaki ke air sungai meningkatkan nafsu makan. Tidak ada diantara kami yang tidak menghabiskan makanannya, mungkin disebabkan cuaca dingin pagi hari. Monyet-monyet hitam bergelantungan diatas kepala kami saat kami sarapan. Awalnya kami takut diganggu monyet tersebut, namun mereka tidak mengganggu. Mungkin mereka sudah terbiasa melihat manusia atau sangat mungkin pengunjung sering memberi makanan ke monyet tersebut sehingga setiap orang datang mereka langsung mendekat. Sepuluh menit seusai sarapan kami mulai hendak mandi-mandi. Beberapa masyarakat lokal mulai menata barang jualannya di bahu sungai. Anak-anak mereka turut juga membantu orang tuanya, mungkin karena kebetulan hari minggu. Beberapa anak lelaki tiba-tiba datang mendekat ke kami menjajakan ban angin sebagai pelampung. Tidak ada diantara kami yang menyewa ban tersebut. Akhirnya anak-anak tersebut ada yang pergi namun ada juga yang turut mandi bersama kami.
Seorang dari anak tersebut mengatakan kepada kami agar kami sedikit lagi lebih ke hulu. "Di sana air panasnya" ujarnya. Tidak berlama-lama saya langsung pergi, saya meninggalkan barang saya di tempat kami pertama. Teman-teman yang lain juga turut menyusul dan sekalian membawa barang kami.
Saya pertama kali masuk ke air panas tersebut diantara rombongan kami. Terbayarkan. Itulah pertama yang muncul di hati saya. Kelelahan dan kemonotonan pemandangan terbayarkan oleh air panas tersebut. Saya pun menceburkan badan ke ari panas tersebut. Aroma belerangnya tidak begitu menyengat, namun masih tercium.
Beberapa teman yang lain akhirnya tiba juga. Namun, air panas tersebut hanya dapat menampung 2-3 orang karena sempit. Lebarnya hanya sekitar 30-40 cm. Oleh karenanya apabila 2-3 orang ingin masuk sekaligus maka hanya boleh berdiri didalamnya. Kamipun, akhirnya bergantian masuk ke air panas tersebut. Selama hampir satu jam kami berada di air panas tersebut.
Wisatawan lainpun sepertinya mendapat info mengenai air panas tersebut. Mereka megnantri untuk masuk ke air panas. Dengan segala kerendahan hati, kami pun keluar dari air panas tersebut, dan orang lain berebut masuk ke dalam.
Sepertinya perlu Pemda Langkat memperhatikan beberapa hal seperti:
1. Perbaikan infrastruktur.
Baik dari Bukit Lawang maupun yang dari arah Stabat. Beberapa teman memperkirakan alasan tidak memperbaiki jalan tersebut karena perkebunan takut semakin mudahnya maling sawit PTPN datang. Saya kira itu bukan alasan. Kepentingan masyarakat harus diutamakan dari kepentingan singkat sebuah organisasi perkebunan. Berikutnya yang perlu diperhatikan adalah pelengkapan rambu/petunujuk arah menuju lokasi. Banyaknya persimpangan di perkebunan dapat menyesatkan wisatawan.
2. Penataan Area.
Seperti air panas tersebut misalnya perlu dikelola manjadi sebuah kolam atau menjadi suatu aliran tidak seperti sekarang yang hanya dapat dinikmati 3 orang untuk waktu yang bersamaan. Penataan penjual makanan dan souvenir, parkir dan sampah juga tidak kalah penting diatur. Belum ada souvenir khas yang kami lihat di Tangkahen sehingga perlu dibuat. Hal ini juga dapat menghidupkan perajin lokal kembali dan berarti menambah lapangan kerja.
3. Wisata Murah, sampai saat ini menurut saya yang perlu dibayar pengunjung memang biaya retribusi masuk. Hal ini perlu dipertahankan. Diusahakan agar semakin murah, karena dengan murah maka mereka dapat meningkatkan pengeluaran mereka langsung ke masyarakat. Tidak perlu melalui pemerintahan lagi, karena akan banyak margin cost-nya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karo Berry (sebuah kenangan masa kecil)

Kerja Tahun Saat Ini

"Terites" secara sosiologis