Lupa Diri atau Diri Terlupakan

Lupa Diri atau Diri Terlupakan

Dua bulan terakhir, Juni dan Juli 2014, saya beberapa kali melakukan perjalanan pulang kampung Karo Gugung (Kab.Karo) ke Karo Jahe (Medan), setidaknya ada 5 kali. Setiap saya kembali ke Medan ada yang mengganjal dalam hati saya ketika sampai di Simpang Tuntungan. Hal yang membuat hati saya demikian adalah gapura di simpang tersebut. Mengapa saya mempersoalkan gapura disana?
Dalam sejarahnya selepas Simpang Tuntungan tersebut (Masuk ke Kota Medan) adalah wilayah Urung Sepulu Dua Kuta Lau Cih yang turut mendaulat Sultan Deli sebagai pimpinan tanah Deli. Urung Sepulu Dua Kuta tersebut di-pantek-i (Pemilik Tanah) adalah berasal dari Suku Karo bermarga Purba yang bersaudara dengan Purba di Kabanjahe. Dan penduduk aslinya di daerah tersebut adalah orang-orang Suku Karo.
Coba perhatikan gapura -selamat datang- di Simpang Tuntungan! Adakah sedikit saja rasa Karo disana? Ucapan selamat datang dituliskan dalam bahasa Indonesia. Bangunan berarsitektur khas Melayu dengan warna khas melayu hijau-kuningnya. Tak setitikpun khas suku Sepulu Dua Kuta ada disana.
Harus saya akui saya belum lebih 10 tahun tinggal di Medan. Dan masa kepemimpinan siapa gapura itu dibangun juga saya belum dapatkan infonya. Yang jelas masa kepemimpinan siapapun itu dibangun, mereka telah lupa diri atau sengaja melupakan (Diri Terlupakan) akan identitas lokal. Apakah seluruh orang Karo yang lewat juga seperti saya (Lupa Diri atau Diri Terlupakan)?
Medan seharusnya menjadi kota yang ramah bagi setiap suku. Dan itu hampir telah terjadi sampai saat ini. Namun tidak berarti melupakan keberagaman suku aslinya juga. Medan bukan hanya Melayu tetapi Karo juga. Oleh karena itu keduanya harus juga menjadi bahan pertimbangan untuk menjadikan budaya kedua suku tersebut sebagai ciri khas Kota Medan. Bukan dominasi salah satunya seperti yang terjadi saat ini. harapan saya, walikota medan yang akan didaulat pada tahun 2015 bersama Gubernur Sumatera Utara memperhatikan budaya lokal.
Dimanakah hal ini dapat diaplikasikan? Setidaknya ada 21 kantor kecamatan di Kota Medan dan puluhan kantor kelurahan. Mengapa yang dibangun adalah gedung berciri Eropa bukan Karo dan Melayu.? Selain itu ada 5 pintu utama masuk kota Medan yakni Belawan, Kuala Namu, Binjai, Amplas dan Simpang Tuntungan. Mengapa 2 atau 3 diantaranya tidak berciri khas Karo gapuranya? Ini merupakan bentuk kekesalan saya sebagai sosiolog. Mengapa saya kesal, sebagai sosiolog saya tidak suka dominasi satu kelomopok/budaya saja pada suatu kejadian/tempat. Karena memang dari awalnya  medan bukan didominasi satu Suku melainkan beberaa suku. Oleh karenanya apa yang dilakukan pemerintah sampai tahun 2014 ini hanyalah akan mencederai hati para pendahulu/pendiri puluhan perkampungan asli di Kota Medan ini. Semoga hati para pimpinan kita segera beruban. Jangan Lupa Diri apalagi Diri Terlupakan!


Salmen S. Kembaren
Sosiolog

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karo Berry (sebuah kenangan masa kecil)

Kerja Tahun Saat Ini

"Terites" secara sosiologis