“Menakar Intelektualitas Mahasiswa Karo pada Pasar Money Politic Pilkada”




Kaum intelektual dapat diartikan sederhana sebagai sekelompok masyarakat yang memiliki daya nalar dan pemahaman lebih baik dari masyarakat awam. Atau dengan kata lain intelektual merupakan kaum terpelajar. Kita harus membedakan kaum intelektual dengan kaum professional. Pertama kaum intelektual memiliki pemikiran yang bebas, ideal, kritis dan mengacu pada kebenaran. Kaum intelektual tidak terikat kepada kepentingan sepihak tapi selalu menguak kebenaran. Sedang kaum professional memiliki pemikiran yang terkungkung aturan, berdasarkan kepentingan. Kedua kaum ini bisa saja berasal dari para sarjana yang sama pendidikannya menurut Hussein Alatas, tetapi berbeda posisinya ketika dikategorikan antara intelektual dan professional.
Pilihan politik merupakan ruang yang sangat mudah mengubah posisi seorang intelektual yang kritis. Apakah politisi masih dapat dikatakan sebagai intelektual? Bisa saja sebuah partai mengatasnamakan berdiri diatas kepentingan rakyat atau demi kebenaran, kesejahteraan, perdamaian, atau tujuan-tujuan lain yang amat konseptual. Demikian juga dosen, ia bisa saja memiliki pemikiran bebas, namun aturan pegawai negeri kadang mengkerangkeng pemikiran dan aksi mereka. Oleh karena itu, kedua kelompok ini bisa seketika berubah-ubah posisi intelektualnya. Sebuah partai politik dapat seketika memihak rakyat untuk mendulang suara, namun ia juga dapat membuat kebijakan demi keuntungan pihaknya. Sama halnya pada dosen, pemikiran mereka terkadang dibatasi aturan ketika mengkritisi penguasa atau pimpinan mereka misalnya.
Mahasiswa merupakan kelompok yang paling baik mengisi ruang kaum intelektual. Mereka tidak dicekoki kepentingan penguasa. Bahkan mereka termasuk mewakili kaum kebanyakan yang sedang mengikuti sistem dan aturan para penguasa. Sangat terkecuali ketika mereka adalah seorang anak dari penguasa itu sendiri. Mahasiswa yang telah “dianggap” diberikan pendidikan cara nalar yang benar seharusnya mampu menjadi intelektual. Orang tua mereka merasakan dampak setiap kebijakan yang diambil pemerintah dan tentunya berimbas kepada mahasiswa.
Intelektual Karo harus melakukan refleksi diri. Para mahasiswa Karo juga para sarjana harus bertangung jawab untuk meluruskan kebenaran. Dalam hal ini adalah bagian kebijakan juga politik. Begitu banyaknya para mahasiswa Karo dan para sarjana Karo namun gaung mereka tidak begitu kedengaran apalagi kelihatan. Pertanyaannya adalah apakah mereka paham tanggung jawab moral intelektual mereka? Apakah mereka telah memiliki kepentingan politis? Apakah mereka sudah begitu apatis terhadap kebijakan publik dan aktivitas politik?
Dari seluruh mahasiswa dan para sarjana Karo mungkin hanya beberapa yang masuk kategori intelektual. Dari segelintir ini seharusnya begitu gigih untuk memperjuangkan kebenaran, justru yang terjadi adalah pembiaran politik. Orang-orang bicara bahwa arus money politic begitu kuat di era ini. Namun, berapakah kasus money politik yang ditangani pihak berwajib. Berapakah jumlah kasus yang dilaporkan Bawaslu? Masakan tidak ada mahasiswa atau sarjana seorang saja setiap desa? Kaum intelektual telah menjual pikiran mereka. Menjual kepada sebuah “diam” yang abadi. Imbasnya adalah sebuah kejahatan missal atau saya sebut “kejahatan berjamaah” atau “kinilaulin sirulo”. Tampaknya semua orang “diam” saja melihat ketidakbenaran ini, juga kaum rohaniwan sekalipun diam yang jelas-jelas tugasnya adalah menyuarakan kebenaran.
Kepentingan merupakan jawaban akhir dari semua ini. Partai politik dengan kepentingan mereka. Para calon memiliki kepentingan pribadi dan kelompok mereka. Siapa lagi yang memikirkan kepentingan suara mayoritas kalau begini. Inilah seharusnya ruang bagi kaum intelektual untuk memperjuangkan kepentingan suara mayoritas, bukan kepentingan partai atau kepentingan calon. Sedang rakyat, kepentingan mereka adalah nyata, politik merupakan kepentingan yang sentuhannya teramat jauh bagi mereka padahal sesungguhnya begitu dekat dan nyata. Mereka adalah kelompok yang semi sadar untuk politik dan tugas intelektuallah untuk menyadarkan mereka sepenuhnya.
Gaung pilkada Kabupaten Karo mulai terasa panas tahun 2015. Beberapa nama kandidat mulai bermunculan namun belum ada yang mendeklarasikan secara resmi. Tampaknya lobby-lobby sedang terjadi dengan situasi yang ada. Mahasiswa Karo sebagai benteng terakhir kaum intelektual ini seharusnya juga tidak boleh kalah panas dengan suasana ini. Intelektual Karo diberikan dua pilihan yang amat sulit dan harus tegas. Pilihan pertama dan memang seharusnya, mahasiswa Karo memiliki sebuah pergerakan untuk memecah ke”diam”an akan ketidakbenaran politik, terutama diam tentang  money politik. Pilihan kedua, pilihan terburuk atau sering disebut penghianatan kaum intelektual, adalah menjual intelektual mereka keada sebuah diam atau terlibat dalam ketidakbenaran.
Sebuah ungkapan Suku Karo berkata “bagi kerbo Penampen, taren natap lupa nggagat”. Saya melihat posisi mahasiswa atau kaum intelektual kita persis seperti ungkapan tersebut. Mereka terkesima dengan situasi hidup mereka masing-masing atau memiliki kesibukan pribadi. Kita hanya sedang mempertaruhkan generasi kita jika demikian. Mahasiswa misalnya, Gendang-gendang bukan tidak penting, tapi pencerahan politik masyarakat Karo juga tidak kalah pentingnya untuk mewariskan peradaban Karo yang luhur. (Tilisan telah dimuat di Sorasirulo.com )
 Lebih Lengkap BACA DISINI


Salmen Kembaren
sosiolog

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karo Berry (sebuah kenangan masa kecil)

Kerja Tahun Saat Ini

"Terites" secara sosiologis