KTC: 5 Mitos dalam Tracking Deleng Lau Simbiring Serdang – Liang




Kali ini Tim KTC yang melakukan tracking menelusuri perkampungan diantara perbatasan Karo dan Deli Serdang. Jarak tempuh sekitar 6 – 9 Km dengan waktu tempuh dengan jalan kaki sekitar 5 sampai 6 jam. Perjalanan mulai dari Desa Serdang, Karo menuju Liang Pematang, Deli Serdang dan kembali ke Desa Serdang keesokan harinya. Liang Pematang adalah salah satu dusun dari Desa Liang. Dulunya ada empat dusun dalam desa ini, sekarang telah dimekarkan dengan dua dusun menjadi satu Desa.
Menelusuri perkampungan Karo tidak akan pernah terlepas dari mitos masyarakat.  Perjalanan dipandu seorang “ranger” bermarga Barus dari Desa Serdang. Ia seorang petani dengan pekerjaan sampingannya adalah pengumpul tanaman obat tradisional Karo. Ia menceritakan setidaknya ada 2 mitos sepanjang perjalanan. Tiga mitos lainnya berasal dari warga dusun Liang Pematang.  Kedua kampung juga ternyata memiliki keterikatan persaudaraan dari dahulu kala.
Setelah ditelusuri, ternyata simantek kuta Serdang dan Rumah Liang adalah Barus yang sama. Ada dua versi tentang kampung mana yang lebih awal berdiri dari kedua desa ini. Berdasarkan penuturan “ranger” bahwa Barus Serdang berasal dari Liang yang berpindah ke Serdang di masa lampau. Atau dapat digambarkan pola migrasi Barus yakni dari dataran rendah ke dataran tinggi. Hal ini sesuai dengan sejarah perpindahan orang-orang dari Barus (Sibolga) ke pedalaman (bisa jadi sampai berakhir di dataran  tinggi Karo). Hal ini seperti yang dikisahkan Brahma Putro dalam buku Karo dari Zaman ke Zaman yang menyatakan kedatangan Islam ke Barus mendesak para pemeluk agama tradisional (pemena) masuk ke pedalaman.
Versi sebaliknya adalah dari Serdang (Pegunungan) menyebar ke dataran rendah (termasuk Liang). Hal ini sejalan dengan kisah rumah si pitu ruang dan kerbau sinanggalutunya. Dikisahkan bahwa setelah keturunan Si Mbelang Pinggel (Si Kuping Lebar) menyelesaikan masalah ghaib di Kacinambun ia diberikan wilayah (tanah) di sebelah timur laut (Si Pitu Kuta) yang saat ini masuk sebagian besar ke kecamatan Barus Jahe. Lebih lanjut dari kisah tersebut bahwa dari anak-anak di pegunungan inilah menyebar ke dataran rendah. Perlu diketahui bahwa mulai dari Serdang menembus Gunung Barus sampai Namo Suro, dekat Deli Tua merupakan perkampungan orang-orang berMerga Barus. Suatu wilayah yang cukup luas untuk satu merga di kalangan Karo. Panjang garis lurus dari kedua lokasi ini tidak kurang dari 50 km atau cukup untuk mengembangkan suatu peradaban suku (Neumann). Dari kedua kisah, maka kita harus mengambil kesimpulan masing-masing untuk menentukan mana yang lebih awal dan mana yang lebih akhir.
Lima mitos yang telah dirangkum ini dapat dipertanyakan lebih jauh mengenai kebenarannya di dunia nyata. Adapun kelima mitos tersebut sebagai berikut:
1.       Mitos Berhala – Si Pispis
Si Pispis merupakan nama suatu tempat di hutan perbatasan Karo – Deli Serdang. Disana ada sebongkah batu seukuran 1 x 2 meter. Batu Si Pispis dapat ditempuh dari Desa Serdang sekitar dua sampai tiga jam dengan jalan kaki. Di sekitar batu tersebut juga tumbuh bambu yang tidak pernah tumbuh besar (punggur). Pohon yang tumbuh tepat disamping batu itu juga tidak pernah menjatuhkan daunnya ke permukaan batu.
Dikisahkan batu Si Pispis adalah seorang ibu yang menghempaskan tubuhnya sehingga menjadi batu (ngentam bana). Ia melakukan hal itu karena kekecewaannya kepada anaknya si Berhala yang tidak mengakui dirinya sebagai ibu kandungnya. Terakhir dikisahkan bahwa Berhala tenggelam di kapal suaminya ketika pulang menyeberangi selat Melaka. Pulau Berhala dianggap sebagai kapal mereka yang terbalik karena disumpahi oleh ibunya. (Lihat lebih lengkap dalam Kisah Berhala dan Batu Si Pispis)
Batu Si Pispis menjadi tempat keramat dalam lintasan Serdang – Liang. Setiap orang melintas sering memberikan sesembahan berupa sebatang rokok atau sekapur sirih (belo kuh) ke batu tersebut. Hal itu dipercayai dapat menghindari segala bahaya berupa serangan hewan buas dan cuaca buruk. Nande Kembar, seorang warga Liang menyatakan pernah melihat ular sebesar tiang listrik karena tidak berpamitan ke batu Si Pispis.
2.       Mitos ular raksasa
Suku Karo juga mengenal mitos tentang Naga yakni salah satu saudara dari Puteri Ijo atau Putri Hijau. Pada lintasan track juga ada beberapa cerita mengenai ular raksasa ini. beberapa warga mengaku pernah melihat badan ular tersebut, namun tidak pernah melihat kepala dan ujung ekor ular tersebut karena panjangnya. Lebih lanjut diceritakan bahwa sisik-sisik ular itu sebesar telapak tangan orang dewasa. Badan ular tersebut juga tampak seperti kayu yang tumbang yang telah berlumut namun bergerak-gerak.
3.       Mitos Harimau
Berdasarkan cerita warga bahwa masih ada harimau berkeliaran di hutan Lau Simbiring. Belum pernah ada cerita dari warga bahwa ada konflik antara harimau dengan warga atau hewan peliharaan. Harimau hanya akan terlihat apabila ada niat jahat dari pendaki. Masyarakat desa Serdang juga masih meyakini bahwa pada saat kelahiran anak harimau maka cuaca akan gerimis dan angin kencang selama empat hari tanpa henti sebagai tandanya.
4.       Mitos Tapak Kaki Umang (Tapak Nahe Umang)
Di Desa Liang terdapat sebuah batu berukuran sepuluh kali sepuluh meter dengan ketinggian sekitar dua sampai dua setengah meter. Batu tersebut berada di arah utara desa, tepat berada di persawahan warga dan tidak jauh dari pemandian alam Lau Mbentar. Terdapat bekas telapak kaki sebelah kiri di batu tersebut. Ukuran kaki itu lebih besar (lebar) dari ukuran kaki orang dewasa rata-rata. Masyarakat Desa Liang mempercayai bahwa telapak kaki itu tapak kaki Umang (manusia purba).
5.       Mitos Pal Batas
Ada mitos unik di Pal Batas Kabupaten Karo dengan Deli Serdang di Deleng Lau Simbiring. Para pendaki akan menghadapi hal-hal yang tidak mengenakkan apabila tidak pamit ketika lewat di Pal Batas. Seseorang yang memiliki pikiran kurang baik juga akan menghadapi cuaca buruk terutama hujan ketika melewati pal batas atau diserang oleh segerombolan lintah. Lebih unik lagi ketika seseorang yang berucap kurang senonoh di sekitar Pal Batas maka kabut tebal akan turun dan menyesatkan pendaki. Biasanya pendaki akan sadar telah tersesat ketika mereka telah sampai di Desa Liang Pematang, ketika bertemu dengan warga.
Salmen Sembiring
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karo Berry (sebuah kenangan masa kecil)

Kerja Tahun Saat Ini

"Terites" secara sosiologis