Batu Akik di Antara Kesehatan, Ekonomi dan Lingkungan



Batu Akik, Antara Kesehatan, Ekonomi dan Lingkungan

(Feature)
             Sekali jadi (22 November 2014) saya berada di Kota Blang Pidie, ibukota Kabupaten Aceh Barat Daya. Kotanya berada pada dataran rendah, namun hanya sekitar satu setengah kilometer ke utara langsung bertemu dengan pegunungan. Udara sejuk di malam hari, sedang siang hari panas. Saya tinggal tidak jauh dari pusat pasar pada sebuah mess. Ada hal unik bagi saya untuk sebuah ibukota kabupaten seperti ini yakni hewan ternak berselieran bersama sibuknya orang-orang di pasar. Kambing-kambing tidur di trotoar dan berjalan kesana kemari mencari sampah terutama sampah sisa dari sayur-mayur. Pada sebuah sudut kota menuju Meulaboh, saya melihat ada sekawanan lembu mengganggu pedagang sayur. Pedagang itu mencoba menghalau gerombolan itu dari pinggir jalan. Jalanan macet sekitar lima menit menunggu kawanan lembu itu menyeberang ke sebuah lapangan kecil. Selain itu hal unik kota ini adalah penjualan batu alamnya.
Batu akik atau lebih dikenal batu cincin menjadi incaran para akikholic. “Tidak hanya di kota Blang Pidie, kota-kota lain seperti Meulaboh dan Nagan Raya juga menjadi pusat keramaian pencarian batu ini” kata seorang teman. Para pemburunya juga bukan hanya orang lokal atau orang Aceh saja melainkan datang dari Medan, bahkan ada yang dari Jawa. Tatkala saya memposting sebuah gambar batu cincin itu pada salah satu media sosial. Beberapa teman saya dari Riau langsung menawar-nawar harga padahal saya bukan pebisnis batu akik.
Setidaknya ada beberapa jenis dari batu akik. Nama dagang di Aceh mungkin berbeda dengan nama dagang di daerah lain. Fossil, Gesper, Lumut, Panca Warna, Giok, Keong dan Fossil adalah nama-nama jensi batu yang diperdagangkan. Di daerah lain ada juga nama jenis batu berupa Delima dan Kecubung Api. Mungkin jenisnya sama namun penamaan lokalnya berbeda. Jenis yang paling banyak dicari dan paling sulit didapatkan adalah jenis solar dan bio solar. Masyarakat memberi nama demikian karena warna batu cincin tersebut berwarna mirip bahan bakar solar.
Harganya pun variatif. Batu yang paling mahal adalah jenis solar  dan bio solar. Jenis solar dihargai mulai dari satu juta rupiah per batu cincin. Sedang yang lainnya dibawah satu juta rupiah. Ada juga yang membeli masih berupa batu balok berukuran dua sekitar setengah kilogram. Harganya pun lebih murah mulai dari tiga ratus ribu rupiah per kilogramnya hanya saja pembeli harus jeli untuk memastikan itu batu akik berkualitas atau tidak.
Batu akik diyakini memiliki manfaat untuk kesehatan terutama memperlancar aliran darah. Penelitian lebih jauh belum saya temukan mengenai hal ini. Seorang teman dari Kuta Cane bahkan menitip untuk dibelikan yang masih berupa batu bongkah berukuran setengah kilogram. Ia hendak menggunakan batu itu untuk bantalan tidur semacam terapi batu. Sebagian lagi percaya batu akik memiliki kekuatan magis yakni dapat menjadi pelaris atau kekebalan tubuh. Sebagian lagi mencari batu ini untuk memperindah tubuh atau untuk estetis.
Akhir-akhir ini peminatnya semakin ramai. Terbukti dengan munculnya kios-kios yang menjual batu alam. Mereka tidak hanya menjual batu akik tersebut dalam bisnis mereka melainkan batu putih untuk dekorasi rumah atau taman. Sesuai dengan teori push and pull factor akhirnya ada orang yang secara khusus bekerja untuk mendapatkan batu-batu alam. Bisnis batu akik ini menjadi bisnis yang cerah mengingat peminatnya bukan hanya pasar lokal melainkan juga dari luar daerah.

Berbagai jenis batu akik di Blang Pidie

Akhirnya alampun mulai diekploitasi tanpa memperhatikan daya dukung, bentukan alam dan fungsi ekologisnya. Mereka memukul-mukul batu cadas sampai karang di pegunungan. Selain risiko besar bagi mereka juga berisiko bagi kelangsungan kelestarian alam. Mengingat belum adanya suatu kajian mengenai manfaat batu-batu ini maka belum perlulah kiranya membisniskan kegiatan tersebut. 


Lihat Foto disini



Penulis:
Salmen Sembiring, S.Sos
                   sosiolog dan pemerhati lingkungan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karo Berry (sebuah kenangan masa kecil)

Kerja Tahun Saat Ini

"Terites" secara sosiologis