Keranjang Khas Suku Karo, Dulu dan Mendatang

Keranjang Karo


 Salmen S. Kembaren

Pendahuluan

Setiap perkampungan Karo memiliki “pulo-pulo”. Pulo-pulo ini belum sepenuhnya saya dalami arti dan maknanya. Sejauh pengamatan saya, pulo-pulo ini dibuat serupa pagar sekeliling desa. Pagar ini dapat menjadi petunjuk bagi kita bahwa itu artinya kampung tidak akan jauh lagi kita temukan. Dan kali ini adalah masyarakat Karo Julu (Karo Timur) yang dibagi lagi menjadi dua yakni gugung dan Deli. Persamaan kedua daerah ini terutama pada logat bahasa Karo dan juga procedural peradatannya. Namun, saya tidak akan membahas tata peradatan mereka. Di masyarakat Karo Julu bagian Gugung yang menjadi pusat perhatian saya kali ini. Dan tulisan ini juga menurut saya belum layak disebut sebagai kajian ilmiah. Tulisan ini mungkin hanya sebatas opini atau sebuah tulisan pengantar untuk penelitian lebih lanjut.
Sedikit melirik ke Karo Julu bagian Deli, yang menurut penelitian Tengku L. Sinar dibagi dua lagi yakni Sinuan Bunga (hilir) dan Sinuan Gambir (hulu). Di Karo Julu  bagian Deli, yang di daerah hulu sebagian masih menanam bamboo sebagai pulo-pulo desanya seperti di kecamatan STM Hulu (daerah Tiga Juhar saat ini). Daerah Sibolangit juga beberapa masih ada yang bamboo sebagai pulo-pulo desanya.  Meskipun demikian bamboo bukan sebagai satu-satunya yang dapat dikatakan, melainkan pinang atau dalam bahasa Karo disebut mayang juga harus dikaji lebih dalam. Sedang Masyarakat Karo Julu bagian Deli Sinuan Bunga kebanyakan pulo-pulo desanya adalah kelapa (tualah). Meskipun demikian bukan berarti tidak ada bamboo atau pinang.
Sedikit berbeda dengan saudara mereka di Karo Julu Bagian Gugung.  Keadaan alam terkadang memang menghasilkan kebudayaan (cara memanfaatkan alam) berbeda juga. Di Karo Julu Gugung, kelapa bukan komoditas yang menghasilkan. Kelapa memang berbuah tapi tidak seproduktif di dataran rendah seperti Karo Julu Deli. Tuntutan alam yang sedemikian membuat Suku Karo Julu di gugung lebih adaptif terhadap kondisi alamnya. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh penganut teori ekologi budaya. Lingkungan dan budaya adalah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Kedua entitas yang tidak dapat dipisahkan ini saling mempengaruhi (Rachmad, 2008:47). Dengan demikian, meskipun satu suku belum tentu sama pengelolaan alamnya. Hal ini lebih jauh dicontohkan dalam suku Indian yang berbeda dalam mengelola lahan jagung mereka antara yang di Barat Daya Amerika dengan yang di Selatan.
Bamboo ini selain begitu banyak ditanami di pinggiran desa juga ditanami  di pinggir (bahu) sungai. Hal ini rupanya sangat baik ketika menahan laju erosi sungai. Selain itu, akar dan tutupan daunnya  juga memang baik untuk biota sungai. Seingat saya semakin baik tutupan sebuah sungai di area pegungungan maka akan semakin kaya hasil sungai tersebut. Selain sungai juga bamboo ini ditanami masyarakat Karo Julu Gugung di tepian lahan pertanian yang curam atau landai. Ternyata bamboo juga sangat baik dalam menahan tanah yang labil atau curam.

Pembahasan

Pada masyarakat Karo Julu Gugung maka bamboo menjadi pilihan utama yang menjadi pulo-pulo kuta mereka. Bamboo yang sangat sangat multifungsi tersebut menjadi pilihan karena memang seluruh bagian tumbuhan tersebut dapat digunakan oleh masyarakat Karo. Bahkan ada hutan (kerangen) yang didominasi tumbuhannya adalah bamboo bukan pohon-pohonan. Setidaknya pada masyarakat Karo Klasik dapat diidentifikasi beberapa manfaat bamboo. Namun, sekarang ini pemanfaatan bamboo tidak sebanyak  (dalam hal keragaman produk) dahulu lagi. Adapun manfaat bamboo bagi masyarakat Karo adalah sebgai berikut:
-    Sebagai bahan bangunan seperti rusuk-rusuk atap rumah adat, juga untuk atap gubuk atau rumah terutama bagian dapur.
-    Sebagai alat pertanian, misalnya rimba-rimba, ipen rouka, tangkai rouka, bamboo gereta lembu,  dan acir, beberapa dalam alat lainnya yang terutama sebagai bahan pendukung.
-    Sebagai Dekorasi dan alat kebutuhan rumah tangga seperti pagar rumah, ukat (sendok), tumba, kuran, kitang, tumba dsb.
-    Bahan kerajinan seperti keranjang, sunun, tangkai sapu,
-    Alat musik seperti ketteng-ketteng, surdam, baluat, pingko-pingko
-    Dsb.
Proses menganyam dasar keranjang

Meskipun pemanfaatan bamboo begitu banyak dalam Suku Karo masa lalu namun saat ini sudah berkurang pemanfaatannya. Pemanfaatan yang masih besar kuantitasnya adalah yang berkaitan dengan kegiatan profit. Hal ini bukan tidak beralasan tentunya. Kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup pasti membawa perubahan sosial. Seperti misalnya tipe rumah, sangat mempengaruhi pemanfaatan bamboo ini. Dahulu bamboo digunakan sebagai rusuk penahan ijuk sebagai atap rumah. Sekarang yang digunakan adalah broti kayu yang menopang seng sebagai atap rumah. Hal lain tentu dapat anda lihat lebih banyak dari contoh pemanfaan tersebut. Dalam hal ini yang hendak didalami adalah bagaimana femantaatan keranjang Karo dimana masih dimanfaatkan sebagai usaha profit.
Keranjang Karo atau sering disebut dengan keranjang saja sesugguhnya juga terdapat beberapa jenis. Sejauh ini yang paling sunter terdengar adalah keranjang galang dan keranjang pesek. Sesungguhnya penamaan seperti itu hanya melihat berdasarkan ukuran. Memang ukuran hal wajar untuk membedakan nama jenis. Setidaknya secara struktur keranjang Karo ada beberapa jenis keranjang yakni keranjang pakan lima dan pakan empat. Selain dari jumlah pakan (dasar) juga dibedakan dari tingginya keranjang. Keranjang pakan lima misalnya tingginya hampir satu meter dan inilah yang sering kita sebut dengan keranjang galang. Diameternya juga sekitar 80-120 cm. sedang keranjang pakan empat lebih beragam dalam hal ukuran tinggi dan  diameternya. Misalnya keranjang pesek  tingginya sekitar 60-80 cm. Sedang keranjang pakan empat lainnya ada berukuran 40-50 cm, keranjang ini sering disebut juga dengan keranjang tomat.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam proses membuat keranjang tersebut yakni mulai dari memotong bamboo, nggelei (memisahkan sembilu dan unung), mantil-mantil, nama tulan, mbayu, mbiber,  dan terakhir mbingkai. Tahapnya hampir sama untuk semua keranjang. Hal yang membedakan adalah ketebalan, panjang, dan jumlah lembaran dari bilah. Pertama mereka akan memotong bamboo dengan ukuran sesuai dari jenis keranjang yang ingin dibuat. Satu log bamboo akan dibelah menjadi beberapa bagian, lebarnya sesuai dengan jenis keranjang yang ingin dibuat. Lalu, bilahan bamboo yang telah dibelah tersebut kemudian ditipiskan lagi. Yang diambil adalah satu kulit dan dua unung (unung adalah bagian tengah jaringan bamboo yang ditipiskan lagi setelah jaringan kulitnya). Setelah dirasa cukup antara sembilu (kulit) dan unung tersebut maka dibuat juga tulan keranjang. Tulan adalah potongan bamboo selebar diameter keranjang yang digunakan pada dasar keranjang. Fungsinya untuk menguatkan keranjang dalam menahan massa barang.
Setelah semua bahan tersebut disiapkan maka dilakukan mantil-mantil, Mantil-mantil adalah proses kegiatan yang menganyam sembilu dan unung menjadi dasar keranjang. Sedang hasilnya disebut pantil-pantil (dasar).  Setelah itu baru diselipkan tiga tulan di pantil-pantil keranjang tersebut. Dalam pantil-pantil tersebut digunakan sebanyak delapan sembilu dan delapan unung. Sembilu berada pada tengah dan pinggir dari hasil anyaman. Anyaman tesebut membentuk persegi delapan atau ketika dipotong seolah terlihat seperti bintang David (bintang Daud).
Struktur pantil-pantil (dasar) keranjang pakan empat yang mirip dengan bintang Daud.

Seusai mantil-mantil maka dilanjutkan dengan mbayu. Pertama penganyam meliukkan pantil-pantil tersebut dan tangannya mulai memasukkan sembilu dan mulailah terlihat bulatan. Ada delapan tingkatan bamboo yang dianyam lagi dalam mbayu. Setelah ke delapan tingkatan itu maka langkah berikutnya adalah mbiber. Mbiber berasal dari kata biber (bibir). Seusai mbiber memang bentuk keranjang terlihat seperti  mulut yang menganga namun masih belum tampak kuat dan masih mudah diliukkan. Kegiatan terakhir adalah mbingkai (memberi bingkai) pada puncak keranjang atau pada biber keranjang. Setelah mbingkailah sebuah keranjang terlihat kokoh dan dapat digunakan.
Pemanfaatan keranjang ini juga menjadi dilemma pada akhirnya. Hilangnya jeruk membuat kegiatan menganyam keranjang ini bukan lagi menjadi kegiatan perekonomian yang menggiurkan. Pada awal decade 2000-an misalnya maka begitu menjamurnya gudang keranjang di Tiga Panah, Lau Dah (Kaban Jahe), Suka Makmur (Sibolangit) dan Raya. Namun, sekarang jumlahnya dapat dihitung jari saat ini dari keseluruhan tempat itu.
Selain akibat gagalnya jeruk Karo, juga akibat penggunaan barang substitusi. Misalnya petani membawa sayur (kol, sayur pahit dan sebagainya) bukan lagi dengan keranjang bamboo melainkan dengan rajut (goni atau plastic ball). Bahkan ada yang menggunakan keranjang plastic yang artinya dapat digunakan kembali (reuse).
Seorang pemuda sedang menganyam keranjang pakan empat di Suka Makmur, Karo Julu Deli, Oktober 2014

Bahkan ketika saya observasi ke pasar Berastagi, sudah sangat jarang saya melihat keranjang pakan lima atau keranjang galang. Yang terlihat adalah kebanyakan keranjang pesek. Demikian juga di Tiga Panah. Termasuk dalam gudang di Tiga Panah dan Suka Makmur saya tidak menemukan keranjang pakan lima ini lagi. Mereka hanya memproduksi keranjang pakan empat.
Bagaimana nasip keranjang Karo kedepannya? Pada oktober lalu, harga keranjang pesek tersebut bahkan mencapai Rp. 20.000 per buah. Namun, pada hari biasa, harganya hanya berkisar Rp. 9.000 – Rp. 11.000,-. Mengingat perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup (termasuk gaya berbisnis masyarakat Karo) akan sangat mempengaruhi keberadaan dan keberlanjutan produk olahan dari bamboo ini.

Penutup.

Saya kira tidak akan ada gunanya menangisi hilangnya berbagai pemanfaatan bamboo dalam masyarakat Karo. Terpenting adalah bagaimana menghidupkan kembali beragam insdustri kreatif pemanfaatan bamboo. Mencari celah industry alternative atau manfaat bamboo yang lain adalah lebih baik, mengingat bamboo merupakan bahan yang ramah lingkungan. Dengan banyaknya ragam pemanfaatan bamboo maka akan tetap dilestarikan. Dan itu artinya hutan akan tetap terjaga. Selain itu, kebutuhan ekonomi masyarakat pengolahnya juga menjadi terpenuhi tentunya. Kekurangan lahan pertanian tetunya menjadi tantangan tersendiri juga untuk hutan bamboo, namun kita dapat memanfaatkan sempadan sungai dan dapat juga menjadi pertimbangan BPDAS setempat dalam rangka pengelolaan DAS.
 Beberapa pemuda Desa Serdang, Karo Julu Gugung menganyam (mbayu) keranjang pakan lima sekitar tahun 60-70-an.
See more: https://www.facebook.com/salmensembiring/media_set?set=a.979808888703132.1073741894.100000220912585&type=3

 Penulis:

Salmen S. Kembaren, S.Sos



Sosiolog
Pemerhati Sosial dan Lingkungan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karo Berry (sebuah kenangan masa kecil)

Kerja Tahun Saat Ini

"Terites" secara sosiologis