Silsilah Tarigan Sibero, dari Mitos ke Nilai Konservasi


(feature)

              Kabut tebal turun di hutan Babahrot, Aceh Barat Daya. Udara dingin menyentuh bumi bersamaan dengan lenyapnya sinar matahari. Malampun tiba, tim patroli makan malam dalam cahaya remang-remang yang dihasilkan dari sebatang lilin setinggi dua puluh centimeter. Tim kami berjumlah delapan orang. Ada dua orang Karo pada tim itu, saya dan Muniruddin Tarigan Sibero. Seusai makan malam tim langsung mencari posisi untuk tidur, sedang saya dan Sibero masih melanjutkan kisah malam sampai ke kisah asal muasal keturunan Sibero.
              "Lit me ndube keramat ngerajai kerangen limbur raya taneh Pak-Pak. Ia ndube tading i luhung Guha Tong-tong Batu. Sada paksa lawes ia mbentasi kerangen Tong-tong Batu nari narih-narih ku Juhar. Seh Juhar salih jadi jelma. Jumpasa sekalak singuda-nguda, anak pulu taneh. Empoina beru Pulu Taneh Juhar, Ginting Mergana. Tubuh ndube anakna empat kalak. Erkiteken perjabunna ras jelma maka telu anakna la jadi jelma. Kerna anak Sintua, salih ndube jadi umang keramat mulihken ku Tong-Tong Batu. Kerna anak sipeduaken, erkiteken empat  jari-jarina, salih ndube jadi Arimo (Harimau). Emakan nigelari Arimo Tarigan, curakna empat empat ngenca ibas dagingna. Ia jadi raja kerangen, kerangen limbur raya, kerajanna ngalur-ngalur kerangen Pak-Pak seh ku taneh Juhar. Emaka kalak Tarigan nipantangken mekpek entah pe munuh arimo.
               Kerna anak si peteluken, ia menam bagi jelma, tapi labo jelma, dagingna ersik-sik, perdalanna nggawang. Erkiteken sik-sikna maka ku lau atena usur. Nggawang ia ngalur-ngalur lau mbelin tangkuh bas batang berou (bero). Batang Bero ndube inganna nggawang-nggawang dingen inganna tading. Palu gendang dur batang-batang bero ngalur-ngalur lau, ndilo gelah mulih, tapi lanai ia nggo mulih. Jenari nigelari me Tarigan Si Bero.
                   La ndekahsa tubuh me anakna singuda, bebere Pulu Ginting Juhar. Sekalak anak dilaki. Tempasna nggo bagi jelma. Dem ningen la dem, la dem ningen dem ka jelma. Ia ndube tading i Taneh Juhar. Emponina anak pulu Kuta Juhar. Ia me mbenai sinursurna nigelari Tarigan Sibero. Anakna lit dua dilaki. 
                   Anakna Sintua ndube tading i Juhar, ngiani Jambur Suki. Usur turah perubaten ibas jabuna. Seh maka anak-anakna marpar merap. Lit sinursurna lawes kempak purba (timur?) seh maka sinursurna nigelari Tarigan Tua entah pe Tarigan Purba. 
                    Anak singuda tading ras nandena i Juhar. Ia ndube ngiani rumah tinading nandena i Jabu Jambur Lateng. Anak singuda usur jadi pendamen man jalak sirubat i tengah-tengah kuta. Bageme turi-turin Tarigan Sibero.

Terjemahan:

               “ Diriwayatkan dahulu ada keramat yang merajai seluruh hutan Pak-Pak. Keramat itu tinggal dalam sebuah gua yang dinamai Tong-Tong Batu. Suatu hari dikisahkanlah keramat itu berjalan menelusuri hutan dari Pak-Pak menuju hutan Juhar. Tanpa terasa sampailah ia di Juhar. Wujudnya berubah menjadi manusia. Ia akhirnya bertemu dengan seorang putri dari Keturunan Pendiri Kampung, Merga Ginting. Ia pun menikahi anak manusia, Putri Pendiri Kampung Juhar. Ia akhirnya memiliki empat orang anak. Karena ia bukanlah manusia maka tiga dari empat anaknya tidak menjadi manusia seutuhnya. Mengenai anaknya tertua, terlahir sebagai umang keramat dan pada akhirnya ia kembali ke Tong-Tong Batu dan berdiam di hutan. Keturunan umang ini akhirnya mendiami gua-gua di hutan. Mengenai anak kedua, lahir dengan memiliki empat jari-jari. Anak kedua ini juga akhirnya berubah menjadi Harimau. Ia juga pergi dari kampung Juhar dan hidup di hutan. Ia menjadi raja di hutan luas mengaruhngi hutan dari Pak-Pak sampai ke Juhar. Harimau ini memiliki ciri khas yakni bergaris motif empat-empat di sekujur tubuhnya. Dan karena itu juga dinamai Harimau Tarigan. Sejak itu keturunan Tarigan dilarang memukul atau membunuh harimau.
                  Mengenai anak ketiga, tubuhnya hampir mirip dengan manusia. Hanya saja ia memiliki sisik di sekujur tubuhnya dan berjalan dengan merangkak. Karena sisiknya, ia lebih suka hidup di air. Ia akhirnya menelusuri sungai sangat jauh meninggalkan kampung dan tidak dapat pulang lagi. Ia akhirnya tersangkut di batang Bero dan hidup di pinggiran sungai bersama batang-batang Bero. Masyarakat memukul gendang mengikuti alur sungai untuk memanggilnya pulang. Namun, ia tak pernah kembali. Orang tuanya kemudian menamainya Tarigan Sibero dan keturunannya kelak juga dinamai demikian.
                 Tidak lama setelah itu lahirlah anaknya yang bungsu, keponakan dari Raja Ginting Juhar. Seorang anak lelaki. Tempasna nggo bagi jelma. Dikatakan manusia ilmunya lebih dari manusia, dikatakan bukan manusia ia seperti manusia. Ia mewarisi kekayaan orang tuanya dan tinggal di Juhar. Ia memiliki dua orang anak lelaki.
                Anaknya sulung, awalnya tinggal di Juhar. Ia tinggal pada sebuah rumah Jambur Suki. pertengkaran sering terjadi dalam hidupnya. Bahkan anak-anaknya harus merantau ke banyak tempat untuk dapat terus hidup. Salah satu keturunannya pergi ke arah timur (Purba?). Ayahnya juga kemudian hidup disana. Dan sejak itu keturunannya dinamai Tarigan Tua atau Tarigan Purba.
               Mengenai anak bungsu, ia tetap tinggal di Juhar bersama ibunya. Ia mewarisi rumah orang tuanya Jambur Lateng. Ia seorang yang arif dan bijaksana. Ia sering mendamaikan banyak persoalan di tengah-tengah kampung. Demikianlah riwayat Tarigan Sibero.”
             Malam semakin larut. Embun dingin mulai terasa menusuk tulang. Lampu-lampu kota Blang Pidie terlihat berkedip-kedip. Tidak tampak laut dari ketinggian ini. Munirudin Sibero terus bercerita mengenai riwayat nenek moyangnya itu dengan bangganya. Kisah ini pertama kali ia kisahkan pada suatu pertemuan. Pertemuan itu adalah kunjungan orang sakit. Bibi-nya yang sakit meminta untuk mengumpulkan keturunan Sibero agar Riwayat Sibero dikisahkan kembali agar ia sembuh dari penyakitnya.
            Awalnya saya ragu dengan apa yang ia kisahkan mengingat saya baru pertama kali bertemu dengannya. Saya mengingat pernyataan dosen saya ketika kuliah. Ilmu sosial itu bukan berasal pada professor sosiologi melainkan pada masyarakat. Profesor Sosiologi hanya membuatnya menjadi abstrak, proposisi-proposisi, hipotesa, teori dan dalil. Akhirnya saya mendengarkan ceritanya dengan seksama. Ia berkah untuk membentuk dirinya. Termasuk asal-usulnya, dan tidak boleh ada yang menyanggah. Jika ada yang menyanggah kebenarannya maka orang itu harus membuat kebenaran lain tanpa mengganggu kebenaran yang telah ada. Dan tugas para ahli sosial lah yang membuat kesimpulan-kesimpulan sementara sambil menunggu kebenaran lain.
              Menurut penuturannya, pada saat pengobatan berlangsung, Bibi-nya itu tidak dapat bangkit lagi dari tempat tidurnya. Beberapa Guru (Thabib-Paranormal) telah meriwayatkan kisah Tarigan Sibero di depan yang sakit namun belum juga dapat bangun. Maka seorang dari keluarga inti yang sakit meminta Muniruddin Sibero untuk meriwayatkan. Akhirnya Bibi-nya dapat bangkit dari tempat tidurnya dan sembuh. Riwayat yang ia ceritakan seperti yang telah saya tuliskan tersebut. Namun, terjemahan ke dalam bahasa Indonesianya dapat saja penuh tafsiran dan terjemahan tersebut merupakan tafsiran dari saya.
             Riwayat ini belumlah begitu lengkap dan perlu kiranya ditelusuri lebih dalam. Ada titik kebenaran dan hal baru dalam riwayat yang dibuat seorang keturunan Sibero ini. Kebenarannya adalah Suku Karo memang mengenal dua jenis harimau yakni Arimou Kembaren dan Arimou Tarigan. Hal baru adalah mengenai batang Bero dan kedekatan merga Tarigan Sibero dengan Tarigan Purba dan Tarigan Tua. Dengan demikian hipotesa pertama maka klan Tarigan Sibero terdiri dari Tarigan Tua, Purba dan Sibero. Mengenai hubungannya dengan Tarigan yang lain perlu ditelusuri lebih dalam mengapa yang lainnya juga dinamai Tarigan.
                  Totemisme hampir telah dilalui oleh seluruh masyarakat dunia sebelum tahap modern. Beberapa masyarakat Asia, Afrika, dan Oceania bahkan sampai sekarang masih menggunakan totem dalam kesehariannya. Totem pada dasarnya dianggap mampu menahan laju perburuan satwa pada beberapa tempat namun tidak demikian lagi untuk saat ini. Beberapa masyarkat men-suci-kan beberapa hewan atau tumbuhan tertentu sebagai bagian dari mereka yang tidak dapat diganggu keberadaannya. Akhirnya hewan atau tumbuhan yang menjadi totem itupun terjada eksistensinya. Hal yang sama banyak dalam Suku di Indonesia. Di Suku Karo misalnya hampir seluruh merga memiliki totem dan itu artinya jika nilai-nilai tersebut terus dikembangkan sesungguhnya kita secara sadar telah melakukan prinsip konservasi yang kita gembor-gemborkan saaat ini. Misalnya Kembaren dengan Harimau Kembaren, Tarigan dengan burung tekukur dan banyak lainnya.
             Selain itu ada nilai-nilai konservasi dalam riwayat ini. Pertama perlindungan Harimau Sumatera. Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) termasuk hewan yang langka dan diambang kepunahan. Meskipun dalam kisah itu diriwayatkan hidup di Pak-Pak sampai Karo namun hal itu bukan berarti hanya disana lagi ada harimau itu. Bahkan mengingat kondisi hutan di Kabupaten Karo dan Pak-Pak termasuk juga daerah sekitarnya yang terus berkurang maka sangat dimungkinkan harimau itu telah pergi ke wilayah lain seperti ke Aceh yang tutupan hutannya masih cukup baik. Kisah ini perlu dikuatkan kembali agar keturunan Tarigan dimanapun berada dapat beraksi untuk peduli dan akan eksistensi Harimau Sumatra. 
            Kita seharusnya tidak melihat hal mistis dari setiap mitos atau sejarah masa lalu melainkan harus melihar nilai (value loaded) dari setiap kisah untuk keberlangsungan dan kelestarian alam. Pendekatan lingkungan untuk tipe masyarakat Asia bukan tipe pendekatan ekonomi yang telah menghancurkan lingkungan sampai-sampai meninggalkan risiko lingkungan sedemikian besar. Pendekatan lingkungan untuk masyarakat kita adalah pendekatan  local developmnent dengan sangat menghargai pengetahuan lokal. Dan pemerintah harus menghindari pendekatan militerisme seperti yang dilakukan kementerian kehutanan selama ini.
            Mengapa pendekatan lokal development begitu penting. Mengingat keberagaman masyarkat petani dan sekitar Indonesia dan juga dalam proses panjang transisi menuju negara maju.  Pada awalnya pembangunan berarsitek Barat sering menganggap gaya hidup masyarakat lokal hanya akan memperlambat proses pembangunan itu sendiri. Ternyata dalam kajian Dove hal itu tidak sepenuhnya benar. Bahkan pengetahuan lokal sangat mendukung tipe pembangunan berkelanjutan seperti yang digadang-gadang oleh banyak pertemuan internasional. Pertanyaannya adalah pengetahuan lokal mana yang akan dipakai secara nasional? Maka akan banyak sekali model pengelolaan lingkungan dan hutan. Dan ini seharusnya memang demikian.
            Undang-undang Hutan Desa yang ditindak lanjuti dengan Peraturan Menteri Kehutanan No 89 Tahun 2014 Tentang Hutan Desa hampir mengarah ke pembangunan dengan pendekatan local development. Hanya saja belum jelas apakah setiap model pengelolaan dianulir? Undang-undang tersebut yang jelas telah membuka kesempatan masyarakat di sekitar hutan untuk mengelola namun lebih besar pendekatan ekonominya dibanding pendekatan konservasinya.


 Penulis
Salmen Sembiring, S.Sos
Sosiolog dan Pemerhati Lingkungan

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karo Berry (sebuah kenangan masa kecil)

Kerja Tahun Saat Ini

"Terites" secara sosiologis