Wisata Air Dingin dan Sisa Kisah Janda Pengepul Pala

Wisata Air Dingin dan Sisa Kisah Janda Pengepul Pala

Hidup memang penuh hal-hal yang menakjubkan, dan kita sering sulit memperkirakan setiap kejadian yang akan datang. Dan karena penuh hal menakjubkan dan sulit memperkirakan itu juga kita menamai semua rangkaiannya dengan kehidupan. Apabila ada orang yang merasa kisah hidupnya tidak menakjubkan maka ia hanya perlu keluar dari pintu rumahnya dan melakukan hal baru. Lihatlah, bintang yang semalam bersinar telah berubah malam ini!
Ini hari sabtu. Seharusnya kami libur hari ini. Hanya saja kami mengerjakan perintah atasan kami untuk mengecor badan jalan menuju kantor. Pekerjaan itu sebenarnya cukup dikerjakan dua orang saja. Kami mengerjakan pekerjaan itu sebanyak enam orang. Istirahat menjadi lebih banyak dari bekerja. Pekerjaan itu selelasi sekitar pukul satu siang. Seusai membersihkan peralatan kami bergerak makan siang ke Desa Sama Dua berbatasan dengan Kecamatan Sawang. Dan bukan hal ini menjadi topic yang ingin saya ceritakan melainkan daerah wisatanya. 

Pengunjung bersiap meloncat ke air


Air Dingin. Ya, Air Dingin, demikian masyarakat Aceh Selatan menamai tempat itu. Tempat pemandian ini berada di Sawang, Aceh Selatan. Sebuah air terjun dengan dua tingkat. Tingkat pertama ketinggian sekitar lima meter  dan tingkat kedua sekitar dua meter. Airnya sejuk dan dingin dibandingkan air laut yang jaraknya hanya mungkin sekitar dua ratus meter ke Samudra Hindia. Dua ratus meter dari tempat ini juga ada air terjun lainnya yang  lebih tinggi sedikit.
Lima teman saya begitu menikmati “air dingin” ini. Bahkan mereka beberapa  kali loncat dari pinggir tebing ke sungai. Airnya begitu jernih. Tepat dibawah air terjun, sungai itu sepertinya sangat dalam, airnya sangat biru dan dasarnya tidak kelihatan. Di pinggir sungai itu langsung diapit oleh dua punggunan tebing yang ditanami dengan pohon pala dan pinang. Lima anak perempuan sedang mandi-mandi juga. Padahal di desa sebelum masuk ke pemandian ini ada tertulis “laki-laki dan perempuan dilarang mandi bercampuran”. Mereka telah melanggar kesepakatan desa setempat dalam hati saya. Namun, warga setempat juga tidak begitu memperhatikan hal tersebut saya lihat.
Tidak ada pengutipan retribusi ketika kami masuk. Riuh air dan suara teriakan anak-anak tersebut menyatu dalam berjatuhannya gerimis sore ke sungai tersebut. Saya mencari tempat berteduh. Disana ada sebuah gubuk. Bentuknya persegi panjang. Ukurannya sekitar dua kali tiga meter. Tidak berdinding. Tegak berdiri di pinggiran tebing dengan atap sengnya yang mulai mencoklat. Saya melihat beberapa wanita tua sedang membaringkan diri disana. Lima wanita. Empat sepertinya telah berusia lanjut sedang yang satu lagi sepertinya sekitar usia lima puluh tahun. Ini Aceh, dan saya sangat menjaga sikap mengingat daerah ini telah berlaku hukum syariat Islam. Sayapun tidak jadi berteduh dalam serangan gerimis dan duduk di sebelah pohon pala di pinggiran sungai sambil terus mengambil foto.

"Janda Pengepul Pala" tidur siang sembari mengunggu petani pala pulang dari kebun


Hujan semakin deras, kawan-kawan saya terus mandi. Mereka memberi aba-aba kepada saya untuk masuk ke gubuk. Mereka tidak tahu bahwa ada beberapa orang tua sedang tidur didalam gubuk. Karena hujan semakin deras saya akhirnya memberanikan diri untuk berteduh di tangga menuju gubuk. Saya berteduh di anak tangga kedua. Air tempias sesekali menyentuh pakaian saya. Seorang dari ibu itu langsung bangun. Dia langsung bergegas. Saya permisi menumpang kepadanya. Ia langsung membangunkan lima ibu lainnya yang sedang tidur. Mereka langsung duduk dan menyuruh saya utuk duduk ke dalam gubuk terbuka itu.
Saya duduk di salah satu sudut tiangnya. Saya masih dapat melihat sekeliling termasuk berkomunikasi dengan kawan-kawan saya di sungai. Saya membuka pembicaraan.  Hanya tiga orang ibu yang dapat berbicara bahasa Indonesia. Lainnya tersenyum dan berbahasa Aceh ke yang lain setiap pembicaraan. Di telinga dan jari mereka terselip perhiasan emas. Saya tidak tahu itu emas asli atau tidak. Saya meminta ke kawan saya satu bungkus kerupuk kulit kerbau dengan isyarat tangan. Tanjung mengantarnya kepada saya. Saya langsung menyerahkan kerupuk itu kepada ibu-ibu itu. Mereka dengan bahasa Acehnya tertawa sambil memakan kerupuk itu.

Pengunjung berendam di air sungai yang sejuk


Pembicaraanpun berlanjut. Mereka menanyai pekerjaan dan asal saya. Juga mereka bertanya kemampuan bahasa Aceh saya. Saya menjawab dengan sebenarnya. Dan saya menjanjikan akan membawakan mereka jeruk dari Beras Tagi. Mereka melempar tawa kembali. Ternyata mereka bukan perempuan biasa. Mereka adalah para janda. Mereka di gubuk itu bukan sedang bersantai ria. Mereka sedang menaruh harapan besar disana. Mereka sedang menunggu para petani pala yang turun pada sore hari dari pegunungan.
Mereka adalah Janda Pengepul Pala. Mereka hanya memperjuangkan hidup mereka dan orang-orang yang mereka kasihi. Mereka tidak punya sawah. Di sisi barat desa merupakan pantai Samudera Hindia. Disisi timur desa punggungan gunung curam dan berbatu. Bertani palawija dan bersawah adalah hal yang sulit  di kecamatan ini bahkan di kabupaten ini. Kebutuhan beras dan kebutuhan lainnya menuntut para perempuan pejuang ini berusaha memenuhi kebutuhan mereka dan anak-anak mereka. Mereka telah mencoba menanam cokelat namun kurang produktif. Mereka belum menyerah, akhirnya menanam kopi dan juga kurang bagus hasilnya. Terakhir pala juga semakin kurang produktif di Aceh.

Pukul empat sore. Petani mulai pulang dari kebun mereka yang jauh di jajaran pegunungan bukit barisan utara. Tidak semua yang turun membawa pala. Sebagian membawa pinang. Mereka tidak patah semangat bertanya kepada setiap petani yang membawa “raga” di punggung mereka. Selain itu tidak semua yang membawa pala dari gunung akan menjual hasil panen mereka kepada para janda pengepul pala ini. Beberapa petani pala sudah memiliki “tokeh” penampung pala mereka.
Dahulu, ketika pala belum memiliki penyakit seperti sekarang ini, masih cukup gampang bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan. Sekarang, produksi pala menurun dan harganya juga menurun. Mereka membeli biji pala dengan harga Rp. 24.000 per bamboo. Satu bamboo sama dengan dua liter. Mereka kemudian menjual kepada tokeh besar apabila dirasa telah cukup untuk dibawa ke kota Tapaktuan.
Sambil menunggu petani pala. Janda Pengepul Pala ini memakan sirih mereka sembari bersenda gurau. Seorang ibu mendoakan saya agar bertemu jodoh di Aceh. Saya hanya tersenyum. Mereka hanya belum tahu saya adalah seorang penganut agama Kristen. Apabila mereka tahu mungkin gurauan mereka takkan seperti ini. Saya mengatakan bahwa orang  Karo juga memakan sirih. Bedanya hanya satu. Orang Aceh jarang menggunakan gambir dalam racikan sirih mereka. Mereka menggunakan sirih setengah lembar, kapur, pinang dan sedikit tembakau. Agak berbeda dengan Suku Karo yang menggunakan beberapa lembar sirih, kapur, gambir, pinang  dalam sekali makan. Orang Karo juga menggunakan tembakau berukuran lebih besar dari yang digunakan oleh orang Aceh.
Pengunjung menikmati suasana air sungai

Hari semakin sore. Satu keluarga muda datang mandi bersama seorang balita perempuan mereka. Ayahnya berkulit hitam pekat, ibunya  berkulit putih. Seperti kawan saya, ayah sang balita tersebut melompat juga dari pinggir tebing. Gerimis telah berhenti. Masih ada satu bungkus keripik pisang yang tersisa. Saya memberikan kepada salah seorang ibu janda berbadan gemuk. Namun, ia mau pulang kerumah dan meminta ijin agar keripik itu ia bawa kerumahnya. Saya mengijinkannya. Kamipun meninggalkan “air dingin” menuju “kota naga”.
Untuk melihat lebih banyak dokumentasi dalam  https://www.facebook.com/salmensembiring/media_set?set=a.986289194721768.1073741896.100000220912585&type=1&notif_t=like
Penulis: 
Salmen Sembiring Kembaren, S.Sos
Sosiolog dan Pemerhati Lingkungan
Add caption

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karo Berry (sebuah kenangan masa kecil)

Kerja Tahun Saat Ini

"Terites" secara sosiologis